Hapus 'Khalifatullah,' Sultan Dinilai Ubah Prinsip Keraton

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

VIVA.co.id - Penghapusan sebutan "Khalifatullah" dalam rangkaian gelar Sri Sultan Hamengkubuwono X akan mengubah prinsip Kerajaan Islam di Yogyakarta, yang dibangun pada abad ke-16. Penghapusan gelar itu juga dinilai sangat mempengaruhi situs keislaman di Indonesia yang masih bertahan sampai saat ini.

"Dengan penghapusan itu (Khalifatullah) bisa memutus rantai sejarah Kerajaan Islam," kata Ketua Forum Persaudaraan Umat Beragama, Kiai Muhaimin, Kamis 7 Mei 2015.

Pada 30 April lalu, Sultan HB X mengeluarkan Sabda Raja di Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta yang isinya antara lain menghilangkan gelar Khalifatullah digelar sebelumnya adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Padahal gelar dalam bahasa Jawa ini menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono sekarang merupakan raja yang kesepuluh pewaris Kerajaan Mataram Islam. 

Menurut Muhaimin, dalam gelar Khalifatullah tersebut mengandung prinsip kesatuan antara nilai budaya Jawa dan Islam.

"Kami ingin agar gelar itu dikembalikan lagi. Karena Sultan selain sebagai pemimpin budaya juga pemimpin agama," kata Muhaimin yang juga pengasuh pondok pesantren ini.

Sementara terkait dengan penobatan GKR Pembayun menjadi Putri Mahkota dan gelarnya berubah menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram, ia menegaskan jika selama ini simbol kepemimpinan Keraton Yogyakarta dalam Islam adalah laki-laki.

"Saya bukan bicara soal kesetaraan gender. Saya paham soal itu. Tapi yang jadi persoalan adalah budaya dan agama yang sudah sejak ratusan tahun lalu menjadi kekuatan dan prinsip Keraton Yogyakarta," lanjut dia. (ren)