Kisah Amarah Tambora yang Mengguncang Dunia
- Wikipedia
Di lautan, gelombang tsunami pun berkejaran hingga pesisir pantai Jawa dan sekitarnya. Sementara di atap langit, kepulan asap bercampur abu hitam membumbung tinggi bak tangan raksasa mencengkram langit.
Peneliti dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Igan Supriatman Sutawidjaja, dalam tulisannya, ”Characterization of Volcanic Deposits and Geoarchaeological Studies from the 1815 Eruption of Tambora Volcano”, menyebutkan bila letusan Tambora kala itu menggelegar hingga Pulau Sumatera atau terdengar hingga lebih dari 2.600 kilometer.
Puncak Tambora berubah menjadi aliran api yang besar. Batu-batu apung berterbangan hingga ke lautan. Sementara debu vulkanik membumbung tinggi menyelimuti Bali, Jawa dan bahkan hingga Eropa.
"Letusan itu adalah letusan terdahsyat sepanjang masa yang pernah tercatat. Awan panasnya saja menyebar hingga radius 820 kilometer persegi," ujarnya.
Di catatan lainnya, seorang ahli Botani Belanda, Junghun, dalam "The Eruption of G Tambora in 1915", menulis akibat dahsyatnya 'Amarah' Tambora selama empat tahun sejauh mata memandang di lautan, bergelimpangan batu apung.
"Pelayaran terhambat oleh batuan apung berukuran besar yang memenuhi lautan. Segala yang hidup telah punah. Bumi begitu mengerikan dan kosong," tulis Junghun.
Mengubah Sejarah
Dalam berbagai literatur, Tambora adalah puncak tertinggi di kawasan Nusa tenggara Barat. Ketinggiannya dari sebuah riset disebut mencapai lebih dari 4.300 meter di atas permukaan laut.
Karena itu konon kabarnya, Tambora adalah gunung tertinggi kedua di Indonesia setelah Cartensz Pyramid yang kini tercatat ketinggiannya mencapai 4.884 meter dan kerap diselimuti salju di puncaknya.
Namun demikian, ceritera tingginya puncak Tambora tinggal kenangan. Ledakan amarah Tambora, telah membuat separuh gunung ini hilang.
Bayangkan saja, kini tinggi gunung ini hanya tersisa 2.851 meter, sementara kaldera sisa ledakannya mencapai enam kilometer dengan kedalaman 700 meter hingga 1.000 meter.
Gubernur Jenderal baru di Hindia Timur kala itu, Thomas Stamford Bingley Raffles, dalam catatannya di The History of Java (1817) seperti dikutip dalam Clive Oppenheimer, merekam jelas bagaimana ketakutan seorang Raffles soal Tambora.
Ia mengira, gemuruh besar yang terdengar hingga kediamannya di Buitenzorg (Bogor) adalah serangan meriam. Setiap seperempat jam gemuruh menggelegar menggetarkan nyali Raffles.
Sebab itu, ia pun berinisiatif mengirimkan pasukannya untuk bergerak ke Yogyakarta. Kapal-kapal pun dibariskan di pantai untuk berjaga-jaga. "Gemuruh itu awalnya dikaitkan dengan serangan meriam pada jarak jauh. Sehingga tentara pun dibariskan di Yogyakarta. Kapal-kapal pun juga dibariskan di pantai untuk waspada," tulis Raffles.
Tiga hari berturut-turut, tak ada kabar berita pasti perihal dentuman menggelegar hingga ke tanah Jawa tersebut. Sementara awan pekat gelap bercampur debu terlihat membumbung di kejauhan bak tangan raksasa berwarna hitam yang sedang menjebol langit.
Udara di sekitar pun mendadak beraroma mencekat seperti belerang. Sehingga membuat siapapun yang menghisapnya harus menutup hidung.
Raffles pun mengirim seorang perwiranya untuk mencari asal muasal bencana itu. Hingga akhirnya terungkap bila itu adalah bencana menakutkan itu lahir dari perut Tambora di ujung Sumbawa.
Tiga kerajaan yang berkuasa di kaki Tambora dilaporkan hilang disapu hidup-hidup oleh muntahan api dari Tambora. Mayat bergelimpangan di jalan, sementara batu-batu apung berapungan di sepanjang mata memandang di laut.
"Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan," tulis Raffles dari cerita perwira yang diutusnya.
Sementara itu, nun jauh di Eropa. Kaisar Perancis yang telah dimakzulkan, Napoleon Bonaparte, dilaporkan berhasil lolos dari kurungannya di Pulau Elba pada 1 Maret 1815.
Ia berencana merebut kembali kekuasaannya dan bersiap berperang menghadapi koalisi Austria, Prussia, Rusia dan Inggris Raya. Seluruh armada pasukan hingga peralatan berat dan logistik pun disiapkan.
Namun tanpa diduga, strategi yang sudah dirancang pada Juni 1815 di Waterloo Belgia, justru menaklukkan Napoleon. Musim panas yang dinilai sebagai waktu yang tepat untuk memberangus lawannya ternyata berubah menjadi musim hujan dan dingin yang mengerikan.
Pasukan Napoleon terjebak dalam hujan terus menerus. Sejumlah peralatan berat mereka terjebak dalam tanah becek sehingga membuat tenaga terkuras. Hingga akhirnya Napoleon pun dipaksa bertekuk lutut pada 22 Juni 1815. Siasat Napoleon gagal total karena cuaca dan iklim berubah mendadak.
Jumlah Korban Tak terungkap
Hingga kini, jumlah pasti korban kedahsyatan Tambora belum bisa diidentifikasi dengan jelas. Di Sumbawa kala itu diperkirakan korban hilang yang tergulung sungai api lava, mencapai 10 ribuan orang.
Belum dengan dampak lanjutan yang telah menyebabkan sedikitnya 38 ribu orang di Sumbawa dan 44 ribu lainnya di Lombok terkena penyakit dan kelaparan. Sehingga diduga korban dari letusan ini bisa mencapai lebih dari 90 ribu orang.
Belum bila diakumulasi dari dataran Eropa dan Amerika. Muntahan abu Tambora yang menyebar hingga ribuan kilometer telah membuat bumi gelap seketika. Sehingga kemudian dikenalah istilah "Tahun Tanpa Musim Panas".
Iklim global secara tak sengaja sontak berubah. Temperatur udara pun turun hingga tiga derajat dan menghancurkan musim panen di sejumlah wilayah seperti Amerika Utara, Tiongkok, India hingga Eropa.
Kelaparan dimana-mana. Ratusan ribu orang kekurangan bahan pangan karena tak bisa bercocok tanam. Sebab itu, banyak pihak memperkirakan bila korban lanjutan Tambora sepanjang tahun 1816 hingga 1819 mencapai 200 ribu orang.
Meski begitu, angka itu tetap baru sebatas estimasi. Belum ada penelitian resmi yang bisa mengkalkulasikan secara keseluruhan korban dari Tambora.
![vivamore="Baca Juga :"]
[/vivamore]
(ren)