Sejarah Kerukunan Masjid Agung dan Gereja Immanuel Malang
Minggu, 12 Oktober 2014 - 12:13 WIB
Sumber :
- VIVAnews/D.A. Pitaloka
VIVAnews - Sejarah kerukunan antara umat di Masjid Agung Jami dan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat Immanuel (GPIB) Malang, tercatat sejak tahun 1700-an. Jauh sebelum Belanda membangun Alun-Alun Kota Malang di tahun 1800-an.
Budayawan lokal, Dwi Cahyono percaya Masjid Agung Jamik berusia jauh lebih tua dibanding arsip yang diketahui saat ini, tahun 1865. Begitupun Gereja Jago, usianya lebih tua dari tahun 1861.
"Yang terekam dari foto memang masjid itu dibangun 1865, dan dilaporkan tahun 1875. Sementara bangunan GPIB itu adalah gereja baru yang mengganti gereja lama bergaya gotik. Gereja bangunan baru dibangun pada 1912. Saya percaya masjid sudah lebih dahulu ada sebagai pusat kegiatan masyarakat setempat,” kata Dwi Cahyono, Minggu, 12 Oktober 2014.
Gereja dibangun oleh Belanda, sementara masjid dibangun oleh bupati Malang yang kala itu menurut Dwi posisinya masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Saat itu Belanda baru saja mengeluarkan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Salah satunya, mengizinkan pihak swasta asing menyewa tanah di Jawa dan mengelolanya dalam kurun waktu tertentu.
Belanda keluar dari Benteng Celaket di Malang, dan membangun Alun-Alun sebagai pusat segala kegiatan. Sedangkan, untuk menarik banyak konsumen, Belanda butuh meyakinkan penyewa bahwa usaha mereka di Malang akan aman dari konflik antara penjajah dan pribumi.
"Itu adalah strategi marketing Belanda, menunjukkan hubungan harmonis antara pribumi yang diwakili dengan Masjid dan Belanda yang berupa Gereja,” kata pria yang juga Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Jawa Timur itu.
Belanda yang cerdas cukup menebalkan keharmonisan itu lewat politiknya. Dwi Cahyono percaya, keberadaan masjid dan gereja yang telah ada sebelum Belanda menggarap Alun-Alun Kota Malang adalah bukti budaya Malang yang terbuka pada perbedaan dan perubahaan, terbiasa menjadi tuan rumah yang baik.
“Budaya Arek ini adalah budaya yang tumbuh di Malang. Penduduknya pekerja keras karena ditempa alam yang berkontur pegunungan, dan mudah menerima siapapun yang berbeda untuk masuk. Itu sebabnya banyak komunitas pecinan tumbuh subur di Malang sejak lama,” katanya.
Maka tak heran bila kemudian sejumlah gerakan yang menyimpang bisa bersembunyi di Malang dalam waktu lama. Sebut saja gembong teroris Dr Azhari yang ditembak mati di persembunyiannya di Kota Batu, atau gerakan ISIS yang sempat heboh muncul di sebuah masjid di Kecamatan Dau Kabupaten Malang beberapa saat lalu.
Baca Juga :
"Sampai sekarang kebiasaan ini masih terpelihara dengan baik, buktinya sampai ada teroris yang bersembunyi di Batu ya karena masyarakat tak pernah menyoalkan perbedaan,” ujarnya.
Rahasia kerukunan beragama
Bagi Bratayana Ongkowijaya, Ketua Bidang Organisasi dan Lintas Agama Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Jakarta, saat ditemui di Klenteng Eng An Kiong Kota Malang, kerukunan antar umat beragama penting dimulai dengan contoh konkret pemukanya, seperti yang dilakukan Zainuddin Muhith dengan pihak Gereja Jago.
Seperti juga yang dilakukan pemuka umat Konghucu dengan sejumlah ulama Nahdlatul Ulama Malang di ritual sedekah bumi setiap Agustus di Klenteng Eng An Kiong. Tauladan yang positif akan jadi embun penyejuk di kelompok akar rumput masing-masing agama. Kerukunan yang dirasakan terjalin harmonis di Malang.
"Tauladan konkret akan lebih mudah diikuti umat masing-masing,” kata pemuka agama Konghucu di Klenteng Eng An Kiong ini.
Hasilnya, kerukunan antar agama di Malang mendapat pengakuan dari Provinsi Jawa Timur. Kota Malang menduduki peringkat pertama kota terukun diantara 38 Kota dan Kabupaten di Jawa Timur.
"Pengumumannya dibacakan Kemenag dan Bakesbangpol Provinsi Jawa Timur empat bulan lalu. Kota Malang nomor 1,” kata Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Malang Sudjaka Santosa Jumat, 10 Oktober 2014 lalu.
Kuncinya ada pada komunikasi rutin enam pemuka agama setiap Jumat di tiap minggu. Forum itu menyelesaikan masalah apapun yang muncul baik di dalam agama masing-masing maupun lintas agama.
Tentu saja, dukungan dari Pemkot ikut menentukan kinerja FKUB. Meski tak menyebutkan jumlah, dia menyebut ada anggaran yang terus meningkat jumlahnya tiap tahun. Maka, akan semakin banyak sosialisasi dan komunikasi yang dilakukan di tingkat RT, RW, Kelurahan hingga perguruan tinggi negeri dan swasta di Malang untuk menjembatani toleransi.
Dukungan kebijakan juga ikut berperan menyelesaikan masalah. Misalnya, ketika muncul pembangunan rumah ibadah yang tidak diterima masyarakat, pemerintah mewadahi dengan menukar lokasi gereja, memberikan alternatif lokasi baru yang tidak berkonflik.
“Dua tahun lalu satu gereja sudah kami tukar aset tanahnya di kecamatan berbeda. Di lokasi baru tak ada penolakan dan umat bisa beribadah dengan tenang,” tuturnya.
Namun, bukan berarti tak ada masalah yang mengintai di kota dingin ini. Ironisnya, di forum yang sama, Malang disebut memiliki peringkat ke 33 dari 38 kota dan kabupaten, dalam hal kerukunan internal umat se agama. Banyaknya permasalahan di dalam satu agama yang sama sulit dipecahkan oleh FKUB saja.
Gesekan antara aliran satu dengan yang lain tak jarang berimbas pada kekerasan fisik. Meskipun Sudjoko tak menyebutkan contoh kasus nyata namun potensi konflik internal lebih mudah muncul, tak jarang dengan aksi kekerasan. Dibutuhkan sikap tegas aparat karena tindakan kekerasan adalah tindak kriminal dan pelanggaran hukum, bukan lagi ranah agama.
"Kami terus mengevaluasi masalah di setiap pertemuan. Dengan komunikasi lebih terbuka dan lebih sering harapannya FKUB bisa menekan potensi masalah yang bisa muncul,” ucapnya. (ms)