Daftar Konflik Manusia-Harimau di Sumatera
Kamis, 12 Juni 2014 - 15:20 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Harry Siswoyo
VIVAnews - Konservasi dan Keanekaragaman Hayati mencatat selama lima tahun terakhir telah terjadi 395 kasus konflik antara harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan manusia di sembilan provinsi di Sumatera.
Dari angka tersebut, Nangroe Aceh Darussalam berada pada peringkat pertama dengan 106 kasus. Selanjutnya di peringkat kedua terjadi di Provinsi Bengkulu dengan 82 kasus, diikuti Jambi 70 kasus, Lampung 47 kasus, Sumatera Barat 36 kasus, Riau 26 kasus, Ulu Masan Aceh 15 kasus, Sumatera Utara 11 kasus, dan Sumatera Selatan 2 kasus.
Baca Juga :
Dari angka tersebut, Nangroe Aceh Darussalam berada pada peringkat pertama dengan 106 kasus. Selanjutnya di peringkat kedua terjadi di Provinsi Bengkulu dengan 82 kasus, diikuti Jambi 70 kasus, Lampung 47 kasus, Sumatera Barat 36 kasus, Riau 26 kasus, Ulu Masan Aceh 15 kasus, Sumatera Utara 11 kasus, dan Sumatera Selatan 2 kasus.
"Selama lima tahun sudah terjadi 395 kasus konflik antara manusia dengan harimau di Pulau Sumatera," kata Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Novianto Bambang Wawandono dalam rapat Pertemuan Tim Koordinasi dan Tim Satuan Tigas Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar di ruang Rapat Sekretariat Daerah Provinsi Bengkulu, Kamis 12 Juni 2014.
Konflik itu berdampak pada kerugian harta benda, mengancam keselamatan jiwa manusia, dan korban satwa. Termasuk di antaranya banyak satwa yang ditemukan mati mengenaskan akibat racun, tertembak, dan tersengat listrik.
"Kinerja penanganan konflik dinilai masih rendah sehingga perlu ditingkatkan," kata Novianto.
Penyabab terjadinya konflik, katanya, mayoritasnya ditengarai oleh habitat satwa liar bersinggungan atau tumpang tindih dengan areal pemukiman, perkebunan, pertanian, serta lainnya. Selain itu, daya dukung kawasan tidak memadai seperti kebakaran dan perambahan kawasan hutan.
"Tujuh puluh hingga 80 persen populasi satwa liar berada di luar kawasan konservasi. Kawasan hutan juga telah dikonversi untuk pembangunan lainnya. Sehingga banyak habitat yang hilang terdegradasi dan terfragmentasi," katanya.