DPR: Perizinan Lahan di Mesuji Janggal
- tvOne
VIVAnews – Anggota Komisi IIII DPR dari Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat, menyatakan perizinan lahan di Mesuji penuh kejanggalan. Hal itu mengakibatkan banyaknya konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan.
Konflik atau sengketa lahan itu, menurut Martin, bahkan rutin terjadi setiap tahunnya. “(Konflik lahan) tidak diselesaikan, sehingga akhirnya berujung kekerasan, dan puluhan (warga) ditangkap,” kata Martin di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 19 Desember 2011.
Konflik tanah, kata Martin, antara lain terjadi pada dua perusahaan, yaitu PT. Silva Inhutani dan PT. Barat Selatan Makmur Investasi (BSMI). Pada PT. Silva Inhutani, papar Martin, kejanggalan terlihat di Register 45, di mana perusahaan tersebut mengantongi izin dan memiliki hak untuk mengelola hutan tanaman industri.
Sengketa di Register 45, ujar Martin, berawal dari tanah seluas 33.500 hektar yang pada 1998 telah resmi menjadi milik pemerintah Indonesia. Selanjutnya, pemerintah Indonesia memberikan izin kepada perusahaan Malaysia, PT. Silva Inhutani, untuk mengelola hutan tanaman industri. Namun pada 2002, pemerintah RI mencabut izin itu.
Tapi pada tahun 2004, pemerintah Indonesia kembali memberikan izin pengelolaan kepada PT. Silva Inhutani. Pemerintah bahkan mengizinkan perusahaan tersebut menambah luas tanah yang mereka kelola menjadi menjadi 42.760 hektar.
“Yang jadi persoalan, perusahaan ini diduga dimiliki Malaysia. Padahal (tanah negara) tidak boleh dijualbelikan (dengan pihak asing)," kata Martin.
PT. Silva Inhutani, lanjut Martin, juga diduga menyalahi Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Dalam SK Menhut, terangnya, seharusnya perusahaan itu menanam tanaman indrustri berupa pohon. Namun, Silva Inhutani justru menanam singkong dan nanas.
“Jadi masyarakat berpendapat, kalau singkong dan nanas kenapa bukan masyarakat yang menanam? Itu kan tanah milik negara,” kata dia.
Perizinan pengelolaan lahan pada PT. Barat Selatan Makmur Investasi juga diduga janggal. Martin menjelaskan, pemerintah memberikan izin kepada perusahaan ini untuk mengelola hutan tanaman industri pada tahan seluas 10.000 hektar.
Dalam SK Menhut, dikatakan bahwa 7.000 hektar tanah yang dikelola PT. BSMI hendak dijadikan plasma untuk masyarakat. “Tapi ini juga tidak dilakukan. Jadi masyarakat menggunakan tanah itu, dan ini yang menyebabkan bentrok antara warga dengan perusahaan,” kata dia. PT. BSMI, imbuh Martin, juga merupakan perusahaan Malaysia.
Sengkarut persoalan pengelolaan lahan di Mesuji tersebut ini, tegas Martin, harus segera dibenahi oleh pemerintah. “Hal ini menyebabkan protes dan konflik. Jika tidak dibenahi, ini akan menjadi gunung es,” kata Martin. Komisi III DPR Sabtu pekan lalu turun langsung ke Mesuji untuk melakukan investigasi.