Yusril Sebut Serge Atlaoui Bakal Dihukum Penjara 30 Tahun oleh Pemerintah Prancis

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra
Sumber :
  • VIVA.co.id/Maha Liarosh (Bali)

Jakarta, VIVA – Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) RI Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa pemerintah Prancis bakal menghukum penjara selama 30 tahun kepada Serge Areski Atlaoui setelah penahanannya resmi dipindahkan.

Yusril menyebut pemindahan penahanan Serge Atlaoui telah disepakati dengan pemerintah Prancis. Kesepakatan dilakukan dengan adanya penandatangan pengaturan praktis atau practical arrangement.

"Dan pemerintah Prancis sudah memberithau kita bahwa terhadap kasus pidana yang sama yang di Indonesia, dijatuhi hukuman mati di Prancis dihukum penjara selama 30 tahun maksimum," ujar Yusril Ihza di kantor Kemenko Kumham Imipas RI, Jumat 24 Januari 2025.

Petugas gabungan menyisir lokasi tenggelamnya kapal Pengayoman IV di perairan Pulau Nusakambangan (Segara Anakan), Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat, 17 September 2021.

Photo :
  • ANTARA/Sumarwoto

Yusril menyebut dirinya tidak mengetahui niat pemerintah Prancis bakal memberikan pengampunan atau amnesti untuk Serge. Pemerintah Indonesia hanya bisa menghormati keputusan pemerintah Prancis nantinya, jika Serge Atlaoui resmi dipindahkan penahanannya.

"Apakah nanti Presiden Prancis akan memberikan grasi atau apakah akan memberikan amnesti, ataukah akan memberikan apapun kebijakan untuk mengurangi misalnya karena sampai jdi 30 tahun, atau tetap dengan menghormati putusan Pengadilan Indonesia," bebernya.

Yusril sebelumnya mengatakan bahwa Serge Atlaoui tidak jadi dieksekusi mati di Indonesia karena Serge bakal dipindahkan penahanannya ke Prancis.

"Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak melakukan eksekusi terhadap narapidana tersebut dan sepakat untuk memindahkannya ke Prancis," ujar Yusril Ihza Mahendra di Kantor Kemenko Kumham Imipas RI, Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.

Lapas Kelas II A Pasir Putih di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah

Photo :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

"Dan Pemerintah Prancis menyepakati, menyetujui dan menghormati, menyetujui menandatangani Practical Arrangements ini," sambungnya.

Setelah sepakat dan resmi dipulangkan, Yusril menyebutkan bahwa kewenangan penahanan Serge Atlaoui diserahkan kepada pemerintah Prancis.

"Dan setelah dikembalikan atau setelah dipindahkan ke Prancis maka tanggung jawab terhadap pemindahan narapidana atas nama Serge Atlaoui diserahkan kepada pemerintah Prancis," ucap Yusril.

Eks ketua umum Partai Bulan dan Bintang (PBB) itu, menyebut tanggung jawab pemerintah Indonesia hanya sampai mengantarkan di bandara penerbangan pemindahan penahanan Serge Atlaoui.

"Tanggung jawab pemerintah Indonesia adalah mengantarkan yang bersangkutan sampai ke bandara, masuk ke pesawat terbang dan dia dijemput oleh aparat kemanan dari Pemerintah Prancis sampai pulang ke negaranya," tukasnya.

Pada tahun 2005, Atlaoui, seorang tukang las, ditangkap di sebuah pabrik narkoba rahasia di luar Jakarta. Pihak berwenang menuduhnya sebagai "ahli kimia" di lokasi tersebut. Sementara itu, ayah empat anak ini tetap bersikukuh tidak bersalah, dan mengklaim bahwa ia sedang memasang mesin di tempat yang ia duga adalah pabrik akrilik.

Hukum narkoba terberat di dunia

Awalnya ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, tetapi Mahkamah Agung pada tahun 2007 menaikkan hukumannya menjadi hukuman mati setelah naik banding.

Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim memiliki beberapa hukum narkoba terberat di dunia dan pernah mengeksekusi warga negara asing di masa lalu.

Atlaoui ditahan di pulau Nusakambangan di Jawa Tengah, yang dikenal sebagai "Alcatraz" Indonesia, setelah dijatuhi hukuman mati, tetapi ia dipindahkan ke kota Tangerang, sebelah barat Jakarta, pada tahun 2015 sebelum bandingnya.

Tahun itu, ia dijadwalkan dieksekusi bersama delapan pelanggar narkoba lainnya, tetapi mendapat penangguhan hukuman sementara setelah Paris meningkatkan tekanan, dengan pihak berwenang Indonesia setuju untuk membiarkan banding yang tertunda berjalan sesuai rencana.

Dalam banding tersebut, pengacara Atlaoui berpendapat bahwa presiden saat itu Joko Widodo tidak mempertimbangkan kasusnya dengan benar karena ia menolak permohonan grasi Atlaoui, yang biasanya merupakan kesempatan terakhir terpidana mati untuk menghindari regu tembak.

Namun, pengadilan menegakkan keputusan sebelumnya bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi untuk mendengarkan tantangan atas permohonan grasi itu.