Haris Rusly Moti Yakin Pemerintahan Prabowo Sangat Hati-hati Terapkan PPN 12 Persen
- pexels.com/Nataliya Vaitkevich
Jakarta, VIVA – Aktivis gerakan mahasiswa 1998, Haris Rusly Moti menyoroti sikap PDIP yang menolak kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Menurutnya, sikap PDIP layaknya istilah 'esuk dele sore tempe' (pagi kedelai sore tempe) tidak membuat pemerintahan Prabowo Subianto anti kritik.
Haris mengatakan, pemerintahan Prabowo terbuka terhadap pandangan dan masukan dari berbagai unsur masyarakat sipil terkait penerapan PPN 12 persen.
"Saya yakin kritik dan masukan dari unsur ormas kemasyarakatan agama seperti MUI, KWI, PGI, Pengusaha, serta para intelektual dan ekonom terkait penerapan PPN 12 persen pasti dipertimbangkan oleh pemerintahan Prabowo," kata Haris.
Menurutnya, setiap kritik dan masukan adalah 'suplemen' yang justru memperkuat pelaksanaan dari kebijakan PPN 12 persen agar makin berpihak pada kepentingan rakyat.
“Saya yakin Presiden Prabowo pasti mendengar dan membaca aspirasi yang berkembang untuk menyempurnakan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat," ujarnya.
Ia pun menuturkan, saat ini Indonesia menghadapi situasi geopolitik 'saling kunci' antara negara negara blok barat yang dipimpin USA dan Uni Eropa versus China dan Rusia. Dampaknya adalah ambruknya konsensus pasar bebas yang telah sekian lama jadi mekanisme perdagangan global.
Free trade atau pasar bebas maupun free investment berubah menjadi 'friendshoring'. Perdagangan pasar bebas berubah jadi perdagangan antar sesama negara se-blok atau se-sekutu atau se-poros geopolitik.
"Situasi saling kunci geopolitik tersebut yang membuat ekonomi global diramal suram di 2025. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut situasi global tersebut komplek dan complicated, rumit dan ruwet," ucapnya.
Di dalam negeri, katanya, siapapun pemerintahan yang berkuasa pasti menghadapi kebijakan sulit dengan ruang pilihan kebijakan yang terbatas. Kadang pemerintah harus menempuh kebijakan tidak populer untuk memitigasi agar situasi geopolitik yang rumit dan ruwet tersebut tidak berdampak buruk terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Terkait kebijakan PPN 12 persen, ia menuturkan memang bukan kebijakan yang diproduksi di era pemerintahan Prabowo. Namun, pemerintahan Prabowo tidak cuci tangan dan tetap bertanggungjawab.
“Saya kira bukanlah karakter Presiden Prabowo untuk menyalahkan masa lalu setiap menghadapi masalah dan tantangan," katanya.
Ia pun yakin dalam penerapan kebijakan PPN 12 persen, pemerintahan Prabowo sangat penuh kehati-hatian. Menurutnya, kebijakan PPN 12 persen tidak memaksa untuk diterima oleh seluruh rakyat dan dunia usaha.
Paling tidak, ia berharap rakyat dan dunia usaha dapat memahami situasi sulit yang melahirkan kebijakan sulit yang mesti ditempuh oleh pemerintahan Prabowo dalam menerapkan PPN 12 persen.
Sesuai masukan dari pimpinan DPR-RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad, agar kebijakan penerapan PPN 12 persen jangan sampai makin memperlemah ekonomi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Karena itu, penerapan PPN 12 persen diutamakan untuk komponen pajak barang mewah.
“Saya yakin pemerintahan Prabowo sangat hati-hati dalam membuat kategorisasi terkait komponen barang mewah yang dikenakan PPN 12 persen. Sehingga daya beli ekonomi rakyat tidak terganggu," katanya.
Lebih lanjut, ia berharap perbedaan pandangan terkait penerapan PPN 12 persen tersebut tidak melunturkan semangat persatuan dan kebersamaan dalam membangun ekonomi nasional.
"Saya berharap kita sama-sama menjaga agar bangsa kita dijauhkan dari dampak negatif, baik ekonomi maupun politik, akibat pertikaian geopolitik yang diperkirakan memanas di tahun 2025," ujarnya.