DPR: Kasus Dugaan Penonton DWP asal Malaysia Diperas Polisi Momentum Bersih-bersih Polri

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengatakan peristiwa dugaan pemerasan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap penonton acara Djakarta Warehouse Project (DWP), membuat citra pemerintah menurun di penghujung tahun 2024. Sebab, penonton DWP yang diduga menjadi korban pemerasan oleh anggota jajaran Polda Metro Jaya itu rata-rata warga negara asing (WNA) di antaranya Malaysia.

“Tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia penegakan hukum telah mengalami penurunan atau bahkan rusak. Hal ini tentu mengganggu citra Pemerintah, stabilitas keamanan dan hukum, serta sektor-sektor lainnya sebagai dampak nyata,” kata Wayan melalui keterangannya pada Selasa, 24 Desember 2024.

Djakarta Warehouse Project (DWP).

Photo :
  • Istimewa

Permasalahan yang terjadi dalam kasus DWP pada pertengahan Desember 2024, kata Wayan, dinilai sebagian pihak bukan hanya merusak nama institusi Polri, namun juga reputasi Pemerintah maupun bangsa dan negara secara keseluruhan. Karena, lanjut dia, apa yang dilakukan 18 oknum polisi kepada WN Malaysia merupakan hal yang sangat memalukan bagi Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan beradab.

“Sektor Pariwisata misalnya menjadi salah satu yang paling terdampak. Terlihat sepele, namun tingkat kepercayaan internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia yang penuh dengan citra buruk, semakin nyata menurun,” ujar Anggota Fraksi PDIP ini.

Menurut dia, media sosial menjadi bukti nyata bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Polri menurun, atau masyarakat ragu akan keseriusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam mereformasi diri dan mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat. 

Pada perkara atau kasus sebelumnya yang menimbulkan kegaduhan, seperti ungkapan ‘no viral, no justice’ atau kekerasan oleh oknum aparat, seolah tidak terdapat tindakan nyata untuk mengubah Polri. Ia menilai janji-janji dan instruksi Kapolri kepada seluruh jajarannya seolah hanya sebuah gimmick atau gestur kosong untuk mengalihkan perhatian dan kemarahan masyarakat sementara. 

“Tagline “Presisi” Polri yang mengandung makna “Strive for excellence” dan kemampuan Polri yang semakin meningkat malah banyak menjadi guyonan dan plesetan di media sosial,” jelas dia.

Wayan mengatakan bahwa kasus dugaan pemerasan penonton DWP ini harus menjadi perhatian besar, apalagi ini mencerminkan kegagalan Polri dalam mengawasi jajarannya. Sebenarnya, kata dia, jika didalami bahwa persoalan yang terjadi seperti ini bukan hal yang baru. Menurut dia, dugaan pemerasan atau pungutan liar dalam penanganan perkara di Polri sebenarnya adalah rahasia umum.

“Pemerasan atau pungutan liar dalam penanganan perkara di Polri sebenarnya adalah rahasia umum. Untuk dapat memperlancar keinginan dari para pihak, diperlukan biaya atau lebih dikenal upeti atau mahar. Hal ini harus diakui merupakan hal yang sudah banyak beredar dan diketahui oleh masyarakat, terutama yang pernah terlibat dalam mafia hukum,” ungkapnya.

Permasalahan yang terjadi pada WNA Malaysia tersebut harus diakui seringkali terjadi di lapangan. Komisi III DPR RI misalnya, pernah menemukan permasalahan yang dilaporkan dalam penanganan kasus narkoba. Pemakai atau pengguna narkotika malah dibawa ke ranah proses peradilan yang berujung pada pidana penjara dan memenuhi lembaga pemasyarakatan.

“Usut punya usut, hal ini diduga juga lahir dari penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan oleh oknum penyidik. Jika orang tersebut tidak mampu memenuhi biaya tertentu (pungli) yang telah ditentukan, maka tersangka dapat dibawa ke ranah penegakan hukum. Sebaliknya, jika ada biaya tertentu, maka cukup direhabilitasi atau bahkan dihentikan perkaranya. Inilah yang kemudian melahirkan maraknya mafia hukum,” katanya.

Dalam kasus DWP, Wayan mengatakan permasalahan yang terjadi dan viral tersebut seolah mengkonfirmasi dugaan-dugaan terhadap penyalahgunaan kewenangan oknum aparat penegak hukum Polri. Bahkan, 18 oknum Polri diduga menggunakan modus tes urine untuk menakut-nakuti 400 penonton yang merupakan WNA Malaysia, sehingga harus mengeluarkan biaya agar tidak diproses ke penegakan hukum sekitar 9 juta Ringgit atau setara Rp32 miliar.

“Lebih parah lagi, ada penonton yang hasil tes urinenya negatif, namun tetap harus membayar sejumlah uang. Hal ini kemudian terungkap di media sosial dan ternyata korbannya tidak hanya satu. Apa jadinya negara ini jika penegak hukumnya saja melanggar hukum, terlebih dilakukan pada saat melakukan fungsi penegakan hukum. Paradoks ini akan sangat memalukan citra penegakan hukum yang seharusnya adil dan kredibel. Cerminan ini akan tetap merusak reputasi seluruh Anggota Polri, termasuk mereka yang telah bekerja secara profesional,” kata Wayan.

Saat ini, Wayan mengatakan pengaduan dari pihak DWP maupun korban telah diterima dan ditindaklanjuti oleh Polda Metro Jaya dan Divisi Propam Polri. Tentu saja, ia menyebut masyarakat tinggal menunggu sikap tegas Polri dalam menindak 18 anggotanya yang diduga melakukan pemerasan terhadap penonton DWP tersebut. 

“Tentu masyarakat harus menunggu kejelasan dan sikap tegas Polri dalam menindak, baik secara pidana maupun etik. 18 orang oknum Polri sudah diperiksa dan diamankan,” ucapnya.

Melihat fenomena tersebut, Wayan mengatakan dorongan perubahan dan perbaikan institusi Polri kembali menggema. Apalagi, kata dia, berbagai kasus terjadi selama 2024 seperti penembakan polisi (baik terhadap polisi maupun sipil), dugaan backing Polri dalam penambangan ilegal, keterlibatan oknum Polri dalam peredaran gelap narkoba maupun tindak pidana lainnya, matinya tahanan dan berbagai permasalahan lainnya, termasuk represivitas dan arogansi oknum Polri menjadi catatan akhir tahun 2024.

“Catatan ini tentu mengundang urgensi untuk segera mereformasi Polri. Persoalan yang terjadi di tubuh Polri ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Jangan sampai hanya berlalu begitu saja karena menyebabkan preseden yang buruk bagi citra Polri di masyarakat,” imbuhnya.

Kata dia, rentetan catatan buruk di beberapa bulan terakhir ini perlu disikapi oleh pemerintah jika ingin tetap menjaga citra yang baik dan bersih. Menurut dia, Pemerintah dan Polri harus berkomitmen untuk meningkatkan transparansi dan profesionalitas secara terbuka dan lebih responsif. Tata kelola organisasi dan Sumber Daya Manusia Polri perlu untuk direformasi, sehingga mampu menciptakan sistem yang dapat meningkatkan transparansi dan profesionalitas Polri.

“Reformasi ini setidaknya harus mencakup beberapa sektor, seperti dimulai dari rekrutmen, tata kelola perumusan penempatan dan pengisian jabatan hingga pengawasan. Hal paling urgen dibenahi saat ini adalah pengawasan. Berbagai Peraturan Kapolri atau peraturan polisi yang mengatur tentang bidang pengawasan, tidak boleh hanya menjadi aturan penegakan, namun juga sebagai aturan pencegahan. Saat ini, bidang Propam hanya bersifat reaktif terhadap pelanggaran yang terjadi. Padahal, bisa saja Propam sudah bekerja pada saat anggota bekerja. Sistem pengawasan melekat,” jelas dia.

Kata dia, bersih-bersih ini perlu dilakukan dengan kesadaran bersama oleh Polri untuk secara terbuka mengakui kelemahan-kelemahan yang ada dan merespon dengan ketegasan penuh. Respon tersebut harus nyata mampu secara signifikan meningkatkan pengawasan, kesadaran dan kepatuhan hukum oleh seluruh anggota Polri. Hal yang terpenting, lanjutnya, bagaimana Polri komitmen untuk terbuka dan mengubah diri dari budaya arogansi, kekerasan, koruptif, dan manipulatif.

"Kita semua setuju, kini dengan mereformasi Polri dan sistem kepemimpinannya hal urgen untuk upaya penyelamatan terhadap citra Pemerintah dan sektor penegakan hukum di Indonesia. Penyelamatan terhadap institusi Polri harus dilakukan dengan cepat, tegas, dan menyeluruh; meskipun terasa sangat pahit. Namun, seperti layaknya memberi obat dengan rasa yang pahit, tetap perlu diberikan untuk menyembuhkan penyakit,” tegas Wayan.

Ia menambahkan jika Polri gagal dalam melaksanakan fungsinya dengan profesional, akuntabel, dan berintegritas, maka hal ini menjadi cerminan utama Pemerintah Indonesia di mata internasional. Sebaliknya, jika Polri menjadi bersih, integritas sistem pemerintahan dan kredibilitasnya akan meningkat. Kredibilitas dan kualitas penegakan hukum atau sistem hukum, kata dia, tentu menjadi indikator fundamental dalam mengukur keberhasilan negara hukum dan penyelenggaraan pemerintahan. 

“Kita kini benar-benar berharap akan pembenahan terhadap sektor hukum secara serius oleh Pemerintah dan tentunya Polri, sehingga dapat menciptakan negara yang aman, adil, makmur, dan sejahtera sesuai cita-cita dan tujuan bangsa dan negara,” pungkasnya.