7 Kasus Korupsi Menghentak Publik Sepanjang 2024
- Antara
Jakarta, VIVA – Korupsi masih menjadi momok menakutkan bagi negeri ini. Penghambat juga batu sandungan terwujudnya tujuan negara mensejahterakan rakyatnya.
Ulah para penyelenggara negara melakukan tipu daya mengeruk keuntungan dengan kewenangannya, serta memperkaya diri sendiri dan golongan seolah menjadi bahaya laten yang serius dan wajib diperangi.
Faktanya sepanjang tahun 2024 ini, bukannya berkurang -- sejumlah kasus korupsi kian marak diungkap aparat penegak hukum dan menyita perhatian publik.
Bahkan ironisnya, taksiran kerugian negara yang diakibatkan dari perbuatan culas para koruptor ini yang terkespose di tahun 2024, menjadi yang terbesar sepanjang sejarah pengungkapan kasus korupsi di negeri ini.
VIVA menghadirkan kilas balik -- rangkuman peristiwa sejumlah kasus korupsi yang menyita perhatian publik sepanjang tahun 2024 dalam Kaleidoskop berikut ini:
1. Korupsi Timah Rugikan Negara Rp300 Triliun, Seret Harvey Moeis
Pengungkapan kasus tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 oleh Kejaksaan Agung diklaim sebagai skandal korupsi terbesar dalam sejarah Republik.
Tak main-main, Kejaksaan Agung menyatakan kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah tahun 2015-2022 mencapai Rp 300 triliun.
Angka tersebut meliputi kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta sebesar Rp 2,285 triliun; Kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk sebesar Rp 26,649 triliun, dan kerugian lingkungan sebesar Rp271,1 triliun.
Ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo menyebut kerugian ekologis akibat kasus timah mencapai Rp271 triliun merujuk Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014 tentang kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Nilai kerusakan terdiri dari kerugian ekologis Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.
Perkara dugaan korupsi ini bermula ketika pada 2018, tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017-2018 bersama tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan tersangka EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan perusahaan smelter swasta lainnya karena masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.
Kondisi itu membuat tersangka ALW bersama tersangka MRPT dan tersangka EE yang seharusnya melakukan penindakan terhadap kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu.
Untuk melancarkan aksi mengakomodir penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama tersangka MRPT dan tersangka EE setuju membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.
Dalam perkara ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 22 orang sebagai tersangka. Yakni SG alias AW (pengusaha tambang di Babel), MBG (pengusaha tambang di Babel), HT alias ASN (Dirut CV VIP), MRPT alias RZ (Dirut PT Timah Tbk tahun 2016-2021), EE alias EML (Direktur Keuangan PT Timah Tbk 2017-2018.
Kemudian, BY (Mantan Komisaris CV VIP), RI (Direktur Utama PT SBS), TN (beneficial ownership CV VIP dan PT MCN), AA (Manajer Operasional tambang CV VIP), TT (tersangka perintangan penyidikan perkara), RL (General Manager PT TIN), SP (Direktur Utama PT RBT), RA (Direktur Pengembangan Usaha PT RBT), ALW (Direktur Operasional PT Timak Tbk 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 s/d 2020 PT Timah Tbk).
HLN (Manajer PT QSE), HM (perwakilan PT RBT), HL (beneficiary owner PT TIN), FL (Marketing PT TIN), SW (Kepala Dinas ESDM Babel 2015-2019), BN (Plt. Kepala Dinas ESDM Babel 2019), AS (Plt. Kepala Dinas ESDM Babel 2020-2021) dan BGA (Dirjen Minerba Kementerian ESDM 2015-2020).
2. Tiga Hakim PN Surabaya Dicokok Buntut Vonis Bebas Ronald Tannur
Vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur, anak mantan Anggota DPR RI dari PKB berbuntut panjang. Ronald Tannur sempat divonis bebas dalam kasus penganiayaan yang menewaskan kekasihnya Dini Sera Afrianti (26) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu, 24 Juli 2024.
Beberapa bulan kemudian, Kejaksaan Agung melakukan penangkapan terhadap tiga Majelis Hakim PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur. Ketiga hakim yang ditangkap, Hakim Ketua Erintuah Damanik, Hakim Anggota Mangapul, dan Hakim Anggota Heru Hanindyo.
Ketiga oknum hakim di PN Surabaya dijerat Pasal Tindak Pidana Korupsi berupa suap dan atau gratifikasi dalam penanganan perkara Gregorius Ronald Tannur. Selain tiga hakim, Kejaksaan juga menahan seorang pengacara berinisial LR yang diduga sebagai pihak pemberi suap.
Ketiga oknum hakim tersebut ditangkap di Surabaya dan telah dilakukan penggeledahan di rumah maupun apartemen mereka. Sementara oknum pengacara LR ditangkap di Jakarta.
Dari hasil penggeledahan ditemukan uang tunai dalam mata uang rupiah dan asing dengan total mencapai puluhan miliar. Penyidik juga menemukan sejumlah bukti elektronik termasuk catatan transaksi penukaran uang valuta asing.
Dalam pengembangan perkaranya, Kejagung menetapkan ibu dari Ronald Tannur Meirizka Widjaja (MW) sebagai tersangka. MW diduga membiayai pengurusan kasus Ronald Tannur dan menyetujui langkah-langkah yang ditempuh, termasuk menyuap hakim senilai Rp3,5 miliar.
Dengan pengungkapan kasus tersebut, MA resmi membatalkan vonis bebas kepada Gregorius Ronald Tannur (GRT), dan Ronald Tannur kembali ditangkap untuk dieksekusi penahanannya sebagai terpidana kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti.
3. Zarof Ricar, Makelar Perkara Rp1 Triliun di Mahkamah Agung
Pengungkapan kasus suap hakim PN Surabaya atas vonis bebas Ronald Tannur oleh Kejaksaan Agung berlanjut dengan penetapan mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA) yang pernah menjabat Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Zarof Ricar (ZR) sebagai tersangka.
Zarof Ricar ditetapkan tersangka bersama satu tersangka lainnya, yakni pengacara Ronald Tannur Lisa Rahmat (LR) yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi berupa suap dan/atau gratifikasi kepada tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur.
Penangkapan ZR dilakukan usai penyidik melakukan pengembangan perkara tindak pidana korupsi dengan tersangka 3 oknum hakim dan pengacara LR. Penangkapan ZR dilakukan pada Kamis, 24 Oktober 2024 di Bali sekitar pukul 22.00 WITA.
Kasus ini terkuak dari permintaan LR kepada ZR untuk mengupayakan Hakim Agung MA yang menangani sidang kasasi Ronald Tannur memberikan vonis tak bersalah seperti yang diputuskan Pengadilan Negeri Surabaya. Sebagai bagian dari permintaan tersebut, LR menyampaikan kepada ZR akan menyiapkan uang senilai Rp5 miliar untuk hakim agung.
Pada Oktober 2024, pengacara LR menyampaikan pesan akan mengantarkan uang tersebut kepada ZR. Dari catatannya, LR menyampaikan kepada ZR bahwa uang tersebut akan diberikan untuk tiga orang Hakim Agung atas nama S, A, dan A yang menangani perkara Ronald Tannur.
ZR menolak uang Rp5 miliar yang diantarkan LR ke rumahanya. ZR menyarankan LR menukarkan uang tersebut ke dalam mata uang asing di sebuah money changer di Blok M, Jakarta.
Setelah uang rupiah ditukar dalam bentuk uang asing, LR datang ke rumah ZR di Senayan Jaksel untuk menyerahkan mata uang asing sejumlah Rp5 miliar. Uang tersebut selanjutnya disimpan ZR di brankas yang berada di ruang kerja rumahnya.
Namun yang mengejutkan dari pengungkapan kasus Zarof Ricar ini, tim penyidik Kejagung menemukan uang senilai Rp920 miliar-- nyaris Rp1 triliun serta emas batangan seberat 51 kg saat menggeledah rumah Zarof Ricar di Bali.
Uang tunai ditemukan dalam brankas rumahnya sejumlah Rp5.725.075.000, 74.494.427 dolar Singapura, 1.897.362 dolar AS, 483.320 dolar Hong Kong, dan 71.200 Euro.
Yang seluruhnya jika dikonversi dalam bentuk rupiah sejumlah Rp920.912.303.714.
Dalam pemeriksaan, ZR mengaku bahwa uang tersebut dikumpulkan mulai tahun 2012 hingga 2022 atau selama 10 tahun. Uang tersebut sebagian besarnya diperoleh dari hasil pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Setelah tahun 2022, ZR berdalih tidak lagi menjadi makelar perkara di MA karena sudah memasuki masa purnatugas.
4. Tom Lembong Tersandung Kasus Impor Gula
Kejaksaan Agung kembali membuat kejutan dengan menetapkan mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula pada Kemendag tahun 2015-2023 sejak 29 Oktober 2024 lalu.
Selain Tom Lembong, Kejagung juga menetapkan mantan direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial TS sebagai tersangka.
Keduanya disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp400 miliar.
Penetapan tersangka TTL selaku Mendag periode 2015-2016 berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomot TAP-60/F.2/Fd.2/X/2024 tanggal 29 Oktober 2024. Sementara status tersangka kedua atas nama TS selaku direktur pengembangan bisnis pada PT PPI periode 2015-2016 berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor Tap-61/F.2/Fd.2/X/2024.
keterlibatan Tom Lembong dalam kasus tersebut bermula ketika pada tahun 2015, dalam rapat koordinasi antarkementerian disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak perlu impor gula.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku Mendag pada saat itu memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah kepada PT AP sebanyak 105.000 ton yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, berdasarkan peraturan disebutkan bahwa yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
berdasarkan persetujuan impor yang telah dikeluarkan oleh tersangka Tom Lembong, impor gula tersebut dilakukan oleh PT AP dan impor gula kristal mentah tersebut tidak melalui rapat koordinasi atau rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri
Tom Lembong kemudian disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 junto pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nmor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2021 junto UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK junto pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP.
5. Skandal Korupsi Eks Gubernur Kalsel Sahbirin Noor
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor (SHB) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Bersamaan dengan itu, KPK juga menetapkan tersangka lainnya dalam kasus tersebut yakni Kadis PUPR Kalimantan Selatan Ahmad Solhan (SOL), Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Kalimantan Selatan Yulianti Erlynah (YUL), Bendahara Rumah Tahfidz Darussalam Ahmad (AMD), dan Plt. Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalimantan Selatan Agustya Febry Andrean (FEB).
Selain itu, masih dua tersangka lainnya yang berasal dari pihak swasta yakni Sugeng Wahyudi (YUD) dan Andi Susanto (AND).
Penetapan tersangka itu berawal dari OTT KPK pada Minggu, 6 Oktober 2024 malam terhadap penyelenggara negara di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
KPK menangkap empat pejabat negara dan dua pihak swasta dalam OTT tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi atas pengadaan barang dan jasa, dalam operasi itu KPK menyita uang sekitar Rp12 miliar.
OTT tersebut berkaitan dengan kasus suap pembangunan lapangan sepak bola di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan senilai Rp23 miliar, pembangunan Gedung Samsat Terpadu senilai Rp22 miliar, dan pembangunan kolam renang di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan dengan nilai Rp9 miliar.
Suap ditujukan kepada para penyelenggaran negara dan pihak swasta yang melakukan rekayasa agar proses lelang dimenangkan oleh pihak yang memberikan fee. Disepakati 2,5 persen untuk PPK (pejabat pembuat komitmen) dan 5 persen untuk Sahbirin Noor.
KPK telah melakukan penahanan terhadap enam tersangka dalam kasus tersebut, sedangkan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor belum ditahan.
Belakangan, Sahbirin Noor menggugat status tersangkanya di KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Afrizal Hady yang mengadiri perkaranya menerima dan mengabulkan gugatan praperadilan Sahbirin Noor untuk sebagian.
Hakim menyatakan penetapan Sahbirin Noor sebagai tersangka tidak sah dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. Perbuatan termohon (KPK) yang menetapkan pemohon sebagai tersangka merupakan perbuatan sewenang-wenang.
KPK sendiri menyatakan gugatan praperadilan Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor yang dikabulkan hakim tidak lantas mempengaruhi jalannya proses penyidikan terhadap para tersangka kasus dugaan korupsi yang terjaring operasi tangkap tangan di Kalsel.
KPK tetap melanjutkan pemeriksaan, termasuk menghadirkan Sahbirin Noor yang hingga kini masih mangkir panggilan KPK.
6. Gubernur Bengkulu Kena OTT Buntut Duit 'Serangan Fajar'
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (RM) dan dua orang lainnya sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi berupa pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu.
Penetapan tersangka terhadap tiga orang tersebut berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Bengkulu pada Sabtu, 23 November 2024 malam. Operasi senyap tersebut dilakukan berdasarkan informasi soal dugaan pemerasan terhadap pegawai untuk pendanaan pilkada Bengkulu.
Dalam operasi tersebut penyidik KPK menangkap delapan orang, namun hanya tiga orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan lima orang lainnya hanya berstatus sebagai saksi.
Penyidik KPK juga menyita uang tunai dengan nilai total Rp7 miliar sebagai barang bukti dalam operasi tersebut.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (RM) akan menggunakan uang hasil korupsi untuk ongkos tim sukses pada Pilkada Bengkulu.
Alex mengatakan tim penyidik KPK menemukan uang tersebut berasal dari pemerasan yang dilakukan RM terhadap jajaran kepala dinas, kepala organisasi perangkat daerah, dan kepala biro Pemprov Bengkulu yang nilainya mencapai Rp7 miliar.
Berdasarkan penelusuran KPK, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Syafriandi menyerahkan uang Rp200 juta kepada Rohidin melalui ajudan gubernur, dengan maksud agar Syafriandi tidak dicopot dari jabatannya sebagai kepala dinas
Selanjutnya, Kepala Dinas PUPR Provinsi Bengkulu Tejo Suroso juga kemudian menyerahkan uang Rp500 juta. Dana itu berasal dari pemotongan sejumlah anggaran, seperti ATK, SPPD, sampai tunjangan pegawai.
Saat diperiksa penyidik KPK, Tejo mengaku dipaksa oleh Rohidin dan jabatannya akan diberikan kepada orang lain jika Rohidin tidak terpilih kembali sebagai Gubernur Bengkulu.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu Saidirman kemudian menyetorkan uang Rp2,9 miliar atas permintaan Rohidin.
Kemudian, Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Bengkulu Ferry Ernest Parera mengumpulkan dana dari sejumlah satuan kerja sebesar Rp1,4 miliar yang juga disetorkan ke Rohidin.
Penyidik KPK selanjutnya langsung melakukan penahanan terhadap ketiga orang tersebut selam 20 hari ke depan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) cabang KPK.
7. Korupsi Judi Online Diusut
Kasus judi online yang melibatkan oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) masuk ke babak baru. Setelah polisi mengusut 28 tersangka kasus judi online (judol), yang melibatkan pegawai dan staf ahli Komdigi, kini kasusnya berkembang ke ranah tindak pidana korupsi.
Kasus judi online yang menggegerkan Tanah Air ini masih diusut Polda Metro Jaya. Subdit Jatanras Dirreskrimum Polda Metro Jaya yang mengusut kasus judi onlinennya, sementara tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenangnnya diusut Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Pengungkapan Tipikor dalam kasus judi online ini terungkap dari pemeriksaan terhadap Menteri Koperasi yang juga mantan Menkominfo Budi Arie Setiadi, pada Kamis, 19 Desember 2024.
Pemeriksaan Budi Arie bertujuan mendalami kasus judi online yang menjerat pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam rangka pengembangan dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani Subdirektorat Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Budi Arie diperiksa penyidik Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Bareskrim Polri yang bekerjasama dengan Direskrimsus Polda Metro Jaya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Ade Ary Syam Indradi mengatakan penanganan Tipikor kasus judi online telah naik penyidikan, berdasarkan gelar perkara pada Kamis, 12 Desember 2024.
Penyidik Gabungan Subdit III Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan Kortas Tipidkor Polri telah memulai penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam perkara judi online di Komdigi.
Polisi mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi itu menjerat para pelakunya dengan pasal suap hingga gratifikasi.