Prabowo Akan Maafkan Koruptor Asalkan Balikin Uang Negara, Begini Penjelasan Yusril
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dikorup sebagai salah satu bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery). Menurut Yusril, itu sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi.
"Apa yang dikemukakan Presiden itu sejalan dengan pengaturan UN Convention Againts Corruption (UNCAC) yang sudah kita ratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut, namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," kata Yusril dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
"Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara (asset recovery)," ujarnya.
Prabowo mengemukakan bahwa orang yang diduga melalukan korupsi, orang yang sedang dalam peroses hukum karena disangka melakukan korupsi dan orang yang telah divonis karena terbukti melakukan korupsi dapat dimaafkan, jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.
Menurut Yusril, pernyataan Prabowo itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP Nasional yang akan diberlakukan awal tahun 2026.
Yusril juga mengatakan bahwa penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya.
"Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kalau uang hasil korupsi mereka kembalikan, pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke APBN untuk mensejahterakan rakyat" kata Yusril.
Selanjutnya, pelaku korupsi di dunia usaha misalnya, dipersilahkan meneruskan usahanya dengan cara yang benar dan tidak akan mengulangi praktik korupsi lagi.
Dengan demikian, usahanya tidak tutup atau bangkrut. Negara tetap dapat pajak, tenaga kerja tidak nganggur, pabrik-pabrik tidak jadi besi tua dan seterusnya. Sehingga, lanjut Yusril, penegakan hukum dalam menangani korupsi harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelakunya.
Prabowo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, kata Yusril, memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk tindak pidana korupsi. Sesuai amanat konstitusi, sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Presiden akan meminta pertimbangan DPR.
Sebagai pembantu presiden, kata Yusril, tentu para menteri siap memberikan penjelasan ke DPR jika nanti Presiden telah mengirim surat meminta pertimbangan.
"Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir, terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," jelas Yusril.
Yusril mengungkapkan, Kementerian Koordinator Kumham Imipas sejak sebulan yang lalu telah mengoordinasikan rencana pemberian amnesti dan abolisi, termasuk terhadap kasus-kasus korupsi. Langkah ini merupakan bagian dari rencana pemberian amenesti kepada total 44.000 narapidana yang sebagian besar merupakan narapidana kasus narkoba. Khusus untuk narapidana kasus korupsi, ada beberapa syarat yang sedang dibahas.
"Hal-hal yang sedang dikoordinasikan itu antara lain terkait dengan perhitungan berapa besar pengembalian kerugian negara yang diduga atau telah terbukti dikorupsi, termasuk pula pengaturan teknis pelaksanaan dalam pemberian amnesti dan abolisi tersebut. Ini perlu koordinasi yang sungguh-sungguh,” imbuhnya.