Keputusan PBNU jadi Sorotan, Dianggap Abaikan Warga Nahdliyin Papua

Ketua PWNU Papua priode 2021-2026 terpilih, KH DR. H. Toni Victor.
Sumber :
  • istimewa

VIVA, Jakarta - Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua dianggap mengabaikan realitas sosial umat. Langkah PWNU dinilai mencederai perasaan warga Nahdliyyin Papua karena mengabaikan realitas sosial umat. 

"Keputusan-keputusan yang diambil para pemangku kebijakan di tubuh PBNU tidak boleh mengabaikan realitas sosial umat. Sebaliknya, keputusan tersebut haruslah menjadi peneguh persatuan, bukan pemicu perpecahan," kata Ketua PWNU Papua priode 2021-2026 terpilih, KH Toni Victor Mandawiri Wanggai, MA, Selasa, 17 Desember 2024.

Menurut KH Toni, saat umat merasa tercederai oleh kebijakan yang tak sesuai amanat konstitusi, maka kepercayaan bisa runtuh. Pun, jika kepercayaan runtuh, sebuah organisasi tak lagi punya legitimasi moral di hadapan umat yang dilayani. 

"Dengan berat hati, umat Islam di Papua mengecam segala bentuk upaya yang berpotensi memecah belah mereka," jelas Toni.

Lebih lanjut, dia menuturkan, organisasi besar bukan hanya dibangun di atas struktur administratif. Namun, menurut dia, terhadap fondasi nilai-nilai luhur yang menjiwai setiap langkahnya. 

Kata dia, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Tanah Air selalu jadi penjaga harmoni, pelindung umat, dan penegak kebenaran. 

Nahdlatul Ulama. (Foto ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Dia mengatakan, dalam sejarah panjangnya, NU juga senantiasa menjunjung amanat konstitusi yang jadi pedoman setiap pengambilan keputusan.

"Namun, apa yang terjadi ketika pedoman itu tergoyahkan? Bagaimana marwah organisasi dapat dijaga di tengah badai perbedaan dan godaan kuasa?" lanjut Toni. 
"Di tanah Papua, pertanyaan-pertanyaan ini hadir tidak hanya sebagai retorika, tetapi sebagai ujian nyata atas komitmen bersama," ujarnya.

Pun, ia menuturkan, Papua sebagai tanah surga dengan sejuta pesona adalah ladang dakwah yang penuh tantangan sekaligus harapan. Kata dia, umat Islam di tanah Papua hidup dalam keberagaman yang tak ternilai harganya. 

Menurut dia, mayoritas dari mereka adalah warga Nahdliyin yang melihat NU bukan sekadar organisasi. Namun, juga sebagai rumah, sandaran spiritual, dan penjaga keharmonisan sosial. 

Dia menuturkan harmoni ini bukanlah sesuatu yang muncul tanpa upaya. Sebab, menurut dia, hal itu lahir dari perjuangan panjang yang mengakar dalam semangat ukhuwah serta keberanian menghadapi tantangan dakwah yang besar.

"Tidak dapat disangkal Papua adalah wilayah dengan medan dakwah yang kompleks. Kondisi geografis yang luas dan sulit dijangkau, keterbatasan infrastruktur, hingga perbedaan budaya menjadi tantangan yang hanya dapat dijawab dengan kebijaksanaan dan strategi yang matang," tutur Toni. 

Toni menyebut di tengah keterbatasan itu, NU sudah membuktikan sebagai tonggak peradaban Islam.

"Di tengah keterbatasan ini, NU telah membuktikan dirinya sebagai tonggak peradaban Islam yang mampu menjangkau pelosok-pelosok negeri, menghadirkan cahaya Islam rahmatan lil ‘alamin," tutur Toni.

Namun, kata Toni, tantangan dakwah bertambah berat saat internal organisasi terguncang dengan keputusan yang dianggap tidak berpijak pada konstitusi.

Toni menuturkan, umat Islam di Papua sudah lama menikmati harmoni ukhuwah yang jadi ciri khas kehidupan mereka. Di tanah yang seringkali dilabeli penuh konflik, umat Islam menunjukkan bahwa perbedaan suku, bahasa, dan budaya tidak harus menjadi alasan perpecahan. 

Kata Toni, NU sebagai mercusuar peradaban Islam di Indonesia tak boleh kehilangan arah. Di tengah tantangan dakwah yang kian berat, khususnya di Papua, NU harus kembali meneguhkan komitmennya. 

Menurut dia, saat ini adalah waktu yang tepat untuk bermuhasabah diri. Upaya itu dengan menilai kembali setiap langkah, dan memastikan kebenaran tetap menjadi landasan utama dalam setiap keputusan. 

Dia bilang hanya karena dengan kebenaran, NU akan terus berdiri kokoh sebagai penjaga umat di Tanah Air termasuk Papua.

"Papua, dengan segala keunikan geografis, budaya, dan sosialnya, telah menjadi medan juang yang tak sederhana bagi NU dalam menegakkan syiar Islam yang rahmatan lil ‘alamin," tuturnya.

Namun, dia bilang ikhtiar PWNU Papua juga menghadapi dinamika internal yang memerlukan perhatian.

"Kondisi ini tidak hanya mencerminkan persoalan administratif, tetapi juga menantang nilai-nilai keadilan, kepatuhan terhadap konstitusi, serta tanggung jawab moral sebagai penjaga marwah organisasi," sebut Toni.

Ia menceritakan pada 18 November 2021, PWNU Papua di bawah kepemimpinannya sudah memenuhi salah satu kewajiban terbesarnya, yakni menyelenggarakan Konferensi Wilayah (KonferWil). 

Menurut dia, acara itu bukan sekadar formalitas, tetapi langkah nyata dalam memastikan kesinambungan kepemimpinan sesuai dengan mekanisme organisasi. 

Adapun KonferWil itu dihadiri oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang diwakili oleh dua Wakil Sekretaris Jenderal. Selain itu, ada perwakilan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua dan Badan Otonom NU lainnya. 

Dia bilang kehadiran para pemangku kepentingan itu juga menegaskan legitimasi dan kepatuhan PWNU Papua terhadap prosedur konstitusional organisasi.

Kata Toni, hasil Konferwil sudah disampaikan kepada PBNU sebagaimana mestinya. Namun, hingga saat ini, PBNU belum menjalankan amanat Pasal 5 Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama Nomor 6 Tahun 2022. 

Padahal, amanat itu semestinya jadi pedoman tindak lanjut atas hasil KonferWil, tampaknya terabaikan. Kegagalan PBNU untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi atas dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepada PWNU Papua. 

Lebih lanjut, dia menuturkan, PBNU mengambil langkah yang menimbulkan kontroversi dengan membentuk karateker untuk PWNU Papua.

"Langkah ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat 1 bagian b dari Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama Nomor 7 Tahun 2022, yang mengatur prosedur pembentukan Karateker dalam situasi tertentu," ujarnya.