DPR: KPK Dibentuk bukan Sebagai Wadah Penyidik Tunggal Kasus Korupsi

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menyoroti rencana pemerintah yang sedang menggodok aturan-aturan terkait dengan tindak pidana korupsi, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. 

Salah satunya, kata dia, wacana menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai wadah tunggal melakukan prosekusi terhadap kasus korupsi. Artinya, KPK sebagai salah satu penyidik tunggal dan satu-satunya penuntut umum pada penuntutan kasus korupsi. 

“Pemerintah mengkaji untuk menjadikan kewenangan penindakan dalam kasus korupsi ke wadah tunggal (single agency) atau dijadikan satu kepada KPK. Namun begitu, Pemerintah masih terbuka untuk diskusi karena baru sebatas kajian,” kata Wayan melalui keterangannya pada Sabtu, 14 Desember 2024.

I Wayan Sudirta.

Photo :
  • Eduward Ambarita/VIVA.co.id

Tentu saja, Wayan menganggap wacana pemerintah ini menarik perhatian para pemerhati hukum dan anti korupsi. Apalagi, kata dia, para pegiat anti korupsi selama ini sering mempertanyakan tentang kinerja KPK dan program anti korupsi nasional yang dianggap menurun atau kurang berdaya.

“Tentunya, wacana ini akan mengundang pro dan kontra karena wacana wadah tunggal dalam berbagai hal seringkali dianggap tabu. Wacana ini juga bukan hal yang baru karena pasti telah banyak kajian tentang hal ini, di mana Program Pemberantasan Korupsi selalu menjadi topik menarik di berbagai kajian atau penelitian hukum,” ujar Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Ia menjelaskan latar belakang struktur pembentukan dan kedudukan KPK itu tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Kemudian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

“Dalam Konsideran menimbang, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tersurat bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, saat dibentuknya UU Nomor 30 tahun 2002, pemberantasan tindak pidana korupsi pada kurun waktu itu belum dapat dilaksanakan secara optimal,” jelas dia.

Oleh karena itu, Wayan mengatakan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Karena, kata dia, korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

“KPK pada prinsipnya dibentuk untuk memperkuat lembaga penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi, dan juga melakukan penguatan terhadap lembaga penegak hukum yang telah lebih dulu ada sebelumnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Jadi, KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya,” tegas dia.

Menurut dia, pembentuk Undang-undang saat membentuk UU Nomor 30 Tahun 2002 menegaskan dan menjelaskan, bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan, kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Oleh karena itu, pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dilakukan secara berhati-hati, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Tugas dan kewenangan dalam Pasal 6 UU KPK tersebut, diatur untuk meluaskan kewenangan KPK dalam mengkoordinasikan Program Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yakni sebagai stakeholder utama,” ungkapnya.

Maka dari itu, Wayan melihat dampak terhadap wacana pembentukan wadah tunggal KPK. Kata dia, kewenangan penanganan kasus korupsi oleh Polri dan Kejaksaan tentu dipindahkan kepada KPK. Secara teknis, lanjut Wayan, keuntungan menjadikan KPK sebagai wadah tunggal dalam pemberantasan korupsi saat ini adalah KPK dapat dirancang untuk fokus pada bidang pemberantasan korupsi secara menyeluruh, sehingga risiko untuk bersinggungan dengan lembaga lain akan berkurang.

“Hal ini terlihat menguntungkan karena akan ada efisiensi pada sistem penegakan hukum dan peradilan pidana. Selain itu, wadah tunggal juga meningkatkan konsistensi dan kejelasan dalam menghilangkan perbedaan interprestasi hukum yang terjadi jika dilakukan oleh multi-lembaga. Selanjutnya, konsistensi ini dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas dari spesialisasi tersebut,” jelas Wayan.

Kemudian, Wayan mengatakan wadah tunggal dapat meningkatkan independensi yakni mengurangi intervensi dari luar. KPK juga dapat meningkatkan keahliannya secara khusus untuk pelatihan dan pendidikan dalam sumber daya (SDM), agar fokus pada pemberantasan korupsi secara efektif dan masif. 

“Wadah tunggal juga mengurangi kompetisi (termasuk yang tidak sehat) dan persaingan yang kadang justru kontra-produktif dengan tujuan program tersebut. Dalam penanganan korupsi, seringkali terdapat perbedaan pendapat antara KPK, Polri, dan Kejaksaan. Dengan wadah tunggal, gesekan seperti ini dapat diminimalisir atau dicegah,” ujarnya.

Akan tetapi, Wayan juga menilai wadah tunggal ini tentu mengandung beberapa kelemahan atau berbagai celah. Pertama adalah beban kerja yang sangat besar. Jika tidak diimbangi dengan sumber daya yang memadai, maka banyak perkara yang terbengkalai, bahkan tertunda. Pada akhirnya, kasus-kasus korupsi yang berada di wilayah atau skalanya kurang diperhatikan oleh masyarakat.

Kedua, keberhasilan pemberantasan korupsi membutuhkan cara-cara yang luar biasa, salah satunya adalah kerja sama dan kolaborasi antar-lembaga. Selama ini, KPK tentu dapat bahu-membahu dan saling kerja sama untuk meningkatkan daya penanggulangan tindak pidana korupsi bersama Polri dan Kejaksaan. 

“Apalagi selama ini, KPK masih dibekali dengan kewenangan supervisi dan koordinasi yang membuat KPK masih dapat mengendalikan jalannya penanganan kasus korupsi,” kata Legislator asal Bali ini.

Wadah tunggal juga menimbulkan monopoli penafsiran atau interpretasi hukum yang menimbulkan risiko eksklusivitas dari masukan-masukan eksternal. Selanjutnya, wadah tunggal ini merupakan hal yang berisiko menimbulkan sentralisasi kekuasaan. Sentralisasi ini menimbulkan efek berkurangnya pengawasan, akuntabilitas, dan menimbulkan celah penyalahgunaan kewenangan. 

“Selama ini, perdebatan mengenai sentralisasi sangat panjang karena bertentangan dengan prinsip dalam demokrasi dan penerapan check and balances. Sentralisasi kekuatan atau kekuasaan ini juga diafiliasikan dengan inefektivitas, dan mengurangi fungsi pengawasan,” jelasnya lagi.

Ia melihat wacana wadah tunggal dipahami untuk mengurangi perbedaan pendapat atau semacam kompetisi tidak sehat dalam lingkup ego-sektoral, yang selama ini sering terjadi dalam dunia politik atau birokrasi kementerian/lembaga. Dengan adanya desentralisasi terhadap lembaga-lembaga tertentu, harapannya adalah terjadi sebuah kompetisi sehat dan kolaborasi untuk tujuan tertentu.

“Kewenangan tunggal dalam penegakan hukum menawarkan efisiensi dan konsistensi, tapi juga membawa risiko besar terhadap independensi, akuntabilitas, dan keberimbangan kekuasaan. Dalam sistem hukum yang demokratis, kolaborasi antar-lembaga dengan mekanisme pengawasan yang kuat merupakan pendekatan yang lebih sehat untuk memastikan keadilan dan kepercayaan publik terhadap hukum. Kita harus banyak belajar dari pengalaman terdahulu yang seringkali dikaitkan dengan penyalahgunaan (abuse of power),” imbuhnya.

Namun demikian, Wayan mengingatkan jika wacana wadah tunggal KPK ini benar direalisasikan, tentu saja membutuhkan banyak perubahan dan perbaikan terhadap beberapa instrument, termasuk perubahan UUD 1945. Masih diperlukan juga aturan-aturan terkait pengawasan yang menjamin independensi dan pencegahan penyalahgunaan kewenangan secara komprehensif dan ketat. 

Hal ini sangat berat sesungguhnya, mengingat penyalahgunaan kewenangan atau politisasi terhadap KPK dan seluruh program pemberantasan korupsi akan sangat masif dampaknya. Terlebih, penyalahgunaan tersebut merupakan bagian dari tindak pidana korupsi yang juga merugikan negara dan sistem kenegaraan itu sendiri. 

Oleh karenanya, Wayan mengatakan lebih baik saat ini menggunakan pendekatan kolaborasi dan penerapan check and balances pada penegakan hukum, khususnya di bidang pemberantasan korupsi. Menimbang dari kelebihan dan kekurangan tersebut, tampaknya alih-alih menjadikan KPK sebagai wadah tunggal, lebih baik diberikan penguatan terhadap sinergisitas antar-lembaga, terutama Polri dan Kejaksaan yang notabene adalah lembaga permanen yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

“Sesuai dengan tujuan pembentukannya, maka KPK bukan dirancang untuk wadah tunggal namun untuk menguatkan dan mendorong (trigger) efektivitas pemberantasan korupsi,” pungkasnya.