Jaksa Tuntut Eks Bos PT Timah 12 Tahun Penjara di Kasus Korupsi

Sidang kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Jaksa penuntut umum menuntut mantan Direktur Utama PT. Timah Tbk periode 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dengan pidana penjara selama 12 tahun, terkait dengan kasus dugaan korupsi timah yang diduga telah merugikan negara Rp 300 triliun.

"[Menuntut Majelis Hakim] menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dengan pidana penjara selama 12 tahun," ujar JPU di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis 5 Desember 2024.

Jaksa juga turut menuntut tambahan untuk Mochtar untuk membayarkan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Bahkan, jaksa juga meminta kepada Mochtar untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 493.399.704.345 miliar selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jaksa menyebut, jika terdakwa tak mampu menbayar maka diganti dengan pidana 6 tahun penjara.

Kemudian, dalam sidang yang sama dengan terdakwa lain, jaksa juga menuntut Direktur Keuangan PT Timah, Emil Elmindra. Emil dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara.

Emil dituntut untuk membayarkan uang pengganti sebesar Rp 493.399.704.345 sebulan setelah putusan inkrah. Lantas, jika tak mampu untuk membayarnya maka diganti dengan pidana badan 6 tahun.

Jaksa juga turut membacakan tuntutan untuk Dirut PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), MB Gunawan. Yakni dengan tuntutan selama 8 tahun penjara dan denda Rp 750 juga subsider 6 bulan penjara.

Diketahui, Mochtar telah di ultimatum dakwaan telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah yang merugikan keuangan negara senilai Rp 300 triliun.

Kegiatan penambangan ilegal dimaksud dilakukan oleh lima smelter swasta, yakni: PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

Mochtar mengakomodasi kegiatan penambangan ilegal bersama-sama dengan Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020 Emil Ermindra serta Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar.

Awalnya Mochtar bersama-sama dengan Emil dan Alwin melaksanakan kerja sama antara PT Timah dengan sejumlah mitra jasa penambangan (pemilik izin usaha jasa pertambangan/IUJP) yang diketahui melakukan penambangan ilegal dan/atau menampung hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Kemudian, mereka membuat dan melaksanakan program pengamanan aset cadangan bijih timah di wilayah IUP PT Timah. Dalam pelaksanaannya, PT Timah membeli bijih timah dari para penambang ilegal yang melakukan penambangan di wilayahnya sendiri.

Setelah itu, Mochtar bersama-sama dengan Emil dan Tetian Wahyudi mengatur pembelian biji timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah menggunakan CV Salsabila Utama, yang merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Emil bersama-sama dengan Mochtar dan Tetian untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

JPU melanjutkan, Mochtar bersama-sama Alwin pun melakukan pembayaran bijih timah sebanyak 5 persen dari kuota ekspor bijih timah kepada perusahaan smelter swasta yang diketahui telah melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah dan pencatatannya direkayasa seolah-olah merupakan hasil produksi dari Program Sisa Hasil Pengolahan (SHP) PT Timah.

Lalu, Mochtar bersama-sama dengan Emil dan Alwin melakukan sejumlah pertemuan dengan pemilik lima smelter swasta untuk mengadakan kerja sama sewa peralatan processing (pengolahan) penglogaman timah yang bertujuan mengakomodir kepentingan beberapa pemilik smelter swasta.

JPU menyebutkan Mochtar selanjutnya bersama-sama dengan Emil, Alwin, dan Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT menyepakati harga sewa peralatan pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 4 ribu dolar Amerika Serikat (AS) per ton untuk PT RBT dan 3.700 dolar AS per ton untuk empat smelter lainnya tanpa kajian atau feasibility study (studi kelayakan) dengan kajian dibuat tanggal mundur.

Hal tersebut merugikan negara hingga Rp 300 triliun dan menguntungkan sejumlah pihak. Perusahaan CV Salsabila Utama yang dikuasai Mochtar, Emil, dan Alwin, ini pula mendapatkan keuntungan yang fantastis mencapai Rp 986.799.408.690.