Psikolog Anak Beberkan Faktor Penyebab Remaja Bunuh Ayah-Nenek di Lebak Bulus
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA – Psikolog anak dan Remaja, Novita Tandry menjelaskan faktor-faktor penyebab remaja berinisial MAS berusia 14 tahun yang tega membunuh ayah dan neneknya di rumahnya di Taman Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Menurutnya, kejadian seperti ini bukan hanya soal tindak kriminal, tetapi juga cerminan kompleksitas psikologis remaja dan peran lingkungan sekitarnya.
Novita menegaskan bahwa penyebab pembunuhan semacam ini tidak pernah tunggal, akan tetapi ada berbagai faktor yang bisa berkontribusi.
"Ini adalah kasus kriminal luar biasa, tindakan pembunuhan salah satu orang tua atau kedua orang tua, kalau ditanya apa faktor anak bisa membunuh orang tuanya, penyebabnya nggak pernah tunggal, penyebabnya kombinasi dari beberapa faktor yang ada,"Psikolog anak dan Remaja, Novita Tandry dikutip tvOne, Selasa 3 Desember 2024.
Berikut faktor-faktor penyebab anak remaja membunuh orang tua:
1. Konflik Berkepanjangan
Masalah dalam keluarga yang dibiarkan terlalu lama tanpa solusi dapat memicu ketegangan emosional. Intervensi dini menjadi sangat penting untuk mencegah konflik berkembang menjadi tindakan ekstrem.
"Kalau ada sesuatu konflik yang berkepanjangan di dalam keluarga jangan menunggu terlalu lama, karena kalau sampai relasinya rusak, nanti komunikasinya sulit," kata Novita.
2. Gangguan Perilaku dan Emosi
Perubahan perilaku seperti murung atau tidak menjalani aktivitas sehari-hari secara normal perlu diwaspadai oleh orang tua. Orang tua harus peka dan sensitif terhadap perubahan sekecil apa pun.
"Kalau ada gangguan perilaku, keseharian yang biasanya normal lalu berubah, misalnya lebih diam, lebih murung, ada gangguan makan, ada gangguan tidur, hobi yang tadinya suka jadi tidak suka lagi," ucap Novita.
"Ini ada tanda-tanda yang orang tua harus waspada dan orang tua harus sensitif," sambungya.
3. Tekanan dan Krisis Identitas
Remaja berada dalam fase pencarian jati diri. Mereka bukan lagi anak-anak, tetapi juga belum sepenuhnya dewasa. Krisis identitas ini dapat memicu tekanan yang membuat mereka rentan terhadap perilaku impulsif.
"Tekanan pertamanan di usia remaja, kalau kita lihat di sini MAS punya disebut dengan pencarian jati diri, atau bisa jadi dia mengalami apa yang disebut krisis identitas, jadi bukan anak-anak lagi tetapi juga bukan orang dewasa," ujar Novita.
Novita pun menyoroti kondisi fisik MAS yang tinggi seperti perawakan bukan anak-anak remaja sehingga kemungkinan ia mengalami krisis identitas.
4. Paparan Kekerasan dan Perilaku Adiktif
Paparan terhadap konten kekerasan seperti video game, tontonan, atau bahkan kebiasaan adiktif seperti judi, alkohol, atau obat-obatan juga menjadi faktor yang memperparah kondisi mental remaja.
"Karena apa yang ditonton bisa mempengaruhi perilaku seorang anak, lalu juga liat adiksi, perilaku adiktif misalnya judol (judi online), pengaruh obat-obatan, napza, jadi untuk preventif," ucap Novita.
Meski hasil tes urin remaja MAS tersebut negatif, paparan kekerasan tetap harus diperhatikan.
Pentingnya Peran Orang Tua
Menurut Novita, orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan kesehatan mental anak-anak mereka. Ada tiga kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh orang tua:
- Anak harus merasa dicintai tanpa syarat
- Anak harus tahu bahwa mereka didengar
- Anak harus merasa dipercaya
Novita menegaskan orang tua jangan banyak menuntut tapi mereka tidak banyak hadir, hanya banyak menuntut saja.
"Intropeksi mungkin gaya parenting yang otoriter, otoriter itu menuntut banyak tapi tidak pernah hadir, hanya nuntut saja," tekan Novita.
Novita pun menjelaskan orang tua boleh menuntut banyak asalkan ia banyak hadir dan terlibat, tidak diabaikan.
Solusi Pencegahan
Psikolog anak dan Remaja, Novita Tandry mengimbau masyarakat untuk tidak ragu meminta bantuan profesional seperti psikolog ataupun psikiater.
"Kalau kita belum punya ilmu parenting mengenai psikologi anak dan remaja, jangan malu jangan merasa bahwa bertemu dengan psikolog ataupun psikiater adalah sesuatu yang aib dan tabu," bilang Novita.
"Ada stigma kalau bertemu psikolog ada ODGJ, tidak harus, sama seperti kita bertemu dengan dokter, kita butuh kesehatan fisik, begitu pula dengan kesehatan mental, kalau memang tidak bisa sendiri manfaatkan profesional health dengan psikolog, tidak ada yang tabu dan aib," tambahnya.