Perbedaan Data Kerugian Lingkungan Kasus Korupsi Tata Niaga Timah Sorot Perhatian di Persidangan

Sidang korupsi tata niaga timah
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Persidangan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat pada Jumat 15 November menghadirkan saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), Prof. Bambang Heru.

Dalam kesaksiannya, Prof. Bambang mengungkapkan bahwa kerugian lingkungan dalam kasus ini hanya mencapai Rp 150 triliun, jauh berbeda dari angka Rp 271 triliun yang dilaporkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Perbedaan data ini memunculkan polemik yang memerlukan klarifikasi lebih lanjut.

Saksi ahli JPU, Prof. Bambang Heru, menyatakan kerugian lingkungan akibat korupsi tata niaga timah hanya Rp 150 triliun, berbeda signifikan dengan Rp 271 triliun yang dilaporkan BPKP, sehingga memunculkan perbedaan data yang perlu diklarifikasi.

Sidang korupsi tata niaga timah

Photo :
  • Istimewa

Revisi BAP dan fakta baru dalam persidangan tersebut, Prof. Bambang Heru merevisi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait luasan kawasan hutan yang dikelola PT Timah setelah adanya konfrontasi dengan pegawai Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Bangka Belitung. Revisi ini menjadi perhatian karena turut memengaruhi hitungan kerugian lingkungan yang dianggap riil.

“Revisi BAP yang dilakukan setelah konfrontasi dengan Dinas LHK Bangka Belitung menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam data luasan kawasan hutan yang terdampak. Hal ini juga berdampak pada perhitungan kerugian lingkungan yang sebelumnya dipaparkan,” ujar Penasihat Hukum Thamron Andy Novi Nababan dalam persidangan.

Sorotan Perbedaan Angka Kerugian

Perbedaan mencolok antara angka yang disampaikan Prof. Bambang Heru dan BPKP menjadi salah satu isu utama dalam persidangan. Menurut Prof. Bambang, angka Rp 150 triliun mencakup kerugian lingkungan pada periode 2019-2020, sementara data BPKP memasukkan sejumlah komponen yang dinilai tidak sepenuhnya riil.

“Kerugian lingkungan pada periode 2019-2020 hanya sebesar Rp150 triliun. Kami menilai bahwa terdapat komponen dalam laporan BPKP yang perlu dikaji ulang karena mungkin mengandung data yang tidak riil,” ujar Penasihat Hukum Andy dalam persidangan.

Perbedaan angka kerugian ini menimbulkan dampak signifikan terhadap perkembangan kasus. Pengadilan kini dihadapkan pada tugas untuk memastikan keakuratan data yang disajikan oleh kedua pihak, termasuk mempertimbangkan revisi yang dilakukan Prof. Bambang Heru terhadap BAP.

Dengan semakin banyaknya perbedaan yang mencuat, kasus ini semakin menyedot perhatian publik. Proses hukum diharapkan mampu memberikan kejelasan atas berbagai data yang disampaikan agar putusan nantinya dapat mencerminkan keadilan.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang akan dihadirkan Penasihat Hukum.