Menghilang Sementara, Muncul Kembali: Fenomena Pejabat Publik yang Terjerat Korupsi

Ilustrasi Korupsi
Sumber :
  • freepik.com/freepik

VIVA – Kasus korupsi di kalangan pejabat publik di Indonesia sering kali diiringi dengan pola yang mencolok: saat nama seorang pejabat terlibat kasus korupsi, ia cenderung menghilang dari sorotan publik hanya untuk muncul kembali dalam acara resmi atau kegiatan umum beberapa waktu kemudian. Fenomena ini sering terjadi dan seolah menjadi “strategi” yang tidak hanya mencerminkan perlawanan dari segi hukum, tetapi juga sebuah pesan simbolis kepada publik.

Salah satu kasus yang terbaru adalah kemunculan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, di apel pagi di Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Banjarbaru, setelah statusnya sebagai tersangka kasus dugaan suap yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus Sahbirin Noor ini menarik perhatian masyarakat, mengingat munculnya kembali sang gubernur di hadapan publik seolah ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya masih berpengaruh. Namun, apakah hal ini dapat diterima, atau justru merusak kepercayaan masyarakat?

Artikel ini akan mendalami mengapa fenomena ini terjadi, dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat, serta langkah yang bisa diambil untuk mengatasi budaya seperti ini di kalangan pejabat publik.

Mengapa Fenomena Ini Bisa Terjadi? 

Ilustrasi Dampak Korupsi

Photo :
  • freepik.com/freepik

Ketika seorang pejabat publik disebut terlibat dalam kasus korupsi, respon umum mereka adalah “menghilang” dari sorotan media. Dalam kasus Sahbirin Noor, setelah KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka, ia tidak segera menanggapi tuduhan tersebut. Bahkan, KPK sempat menyatakan bahwa Sahbirin Noor melarikan diri setelah operasi tangkap tangan dilakukan. Mengapa fenomena seperti ini terjadi?

1. Menghindari Sorotan dan Tekanan Media

Sorotan media menjadi salah satu hal yang paling dihindari oleh pejabat publik yang terlibat dalam kasus korupsi. Media memiliki peran penting dalam mengawal kasus-kasus seperti ini, dan sorotan media yang tinggi bisa meningkatkan tekanan terhadap tokoh terkait.

Dengan menghilang, pejabat seperti Sahbirin berharap untuk meredam perhatian media, atau bahkan mengalihkan isu jika ada kasus lain yang lebih menarik perhatian publik.

2. Upaya Meredam Emosi Publik  

Publik sering kali merespon dengan kemarahan atau kekecewaan saat seorang pejabat tinggi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Dengan menghindar dari sorotan, pejabat tersebut berusaha menenangkan emosi publik.

Setelah beberapa waktu, ketika kemarahan publik mereda, mereka akan muncul kembali dalam kegiatan publik untuk menciptakan kesan bahwa peristiwa tersebut sudah berlalu dan tak lagi jadi sorotan utama.

3. Strategi Hukum dan Politik

Dalam banyak kasus, pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi memanfaatkan waktu “menghilang” ini untuk menyusun strategi hukum atau politik. Banyak dari mereka mengajukan praperadilan atau bentuk perlawanan hukum lainnya untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.

Pada saat yang sama, mereka juga mungkin memanfaatkan pengaruh politik untuk mempertahankan posisinya dan menghindari pemberhentian sementara dari jabatannya.

Dampak Fenomena Terhadap Kepercayaan Publik

Ilustrasi Kepercayaan Publik

Photo :
  • freepik.com/freepik

Kemunculan kembali seorang pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi sering kali mendapatkan reaksi negatif dari publik. Berikut adalah beberapa dampak utama dari fenomena ini:

1. Mengikis Kepercayaan Publik Terhadap Hukum

Ketika masyarakat melihat seorang pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi muncul di depan publik tanpa konsekuensi nyata, mereka bisa saja berpikir bahwa hukum di Indonesia hanya berlaku bagi masyarakat biasa, tetapi tidak bagi orang-orang dengan kekuasaan. Ini dapat menimbulkan persepsi bahwa hukum bisa dinegosiasikan bagi mereka yang memiliki pengaruh.

2. Memperkuat Budaya Impunitas

Impunitas atau ketidakterjangkauan dari hukuman adalah salah satu masalah yang sering dikritik dalam sistem hukum kita. Kemunculan pejabat publik yang diduga korup kembali dalam kegiatan resmi menimbulkan kesan bahwa mereka kebal hukum dan bisa kembali bertugas seperti biasa. Budaya impunitas ini berbahaya karena bisa menyebarkan pesan kepada masyarakat bahwa korupsi dapat dimaafkan atau bahkan diterima dalam tatanan pemerintahan.

3. Merusak Moral Aparatur dan Pelayanan Publik

Saat pejabat yang diduga melakukan korupsi tetap mempertahankan posisinya atau muncul dalam kegiatan formal, hal ini bisa merusak moral para ASN yang bekerja di bawahnya. Mereka mungkin merasa bahwa integritas dalam bekerja tidak lagi dihargai, karena pejabat yang melanggar aturan justru tetap mendapatkan tempat dalam pemerintahan.

Solusi dan Tindakan untuk Mengatasi Fenomena Ini

Ilustrasi Korupsi

Photo :
  • Pexels.com

Untuk mengurangi fenomena ini, beberapa langkah berikut dapat diterapkan:

1. Penguatan Mekanisme Penegakan Hukum  

Masyarakat perlu melihat bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika seorang pejabat telah ditetapkan sebagai tersangka, maka proses hukum harus berjalan tanpa intervensi, termasuk larangan bagi pejabat tersebut untuk tampil dalam kegiatan publik sampai kasusnya tuntas.

2. Pengawasan Media dan Partisipasi Publik

Media memiliki peran penting untuk terus mengawal kasus-kasus korupsi di kalangan pejabat publik. Selain itu, partisipasi publik dalam mengawasi kinerja pemerintah juga perlu didorong. Transparansi ini dapat membantu mengurangi upaya pejabat yang ingin menghilangkan perhatian publik dari kasus mereka.

3. Pendidikan Anti-Korupsi dan Budaya Kepemimpinan Bersih

Untuk mencegah fenomena ini berulang, pendidikan anti-korupsi harus ditanamkan sejak dini. Para pejabat dan calon pemimpin harus memahami bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat, dan harus siap menghadapi konsekuensi jika terlibat.

Kemunculan kembali pejabat yang diduga terlibat korupsi di kegiatan publik merupakan fenomena yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan budaya impunitas. Untuk mengembalikan kepercayaan publik, pemerintah harus tegas dalam menindak pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, termasuk membatasi ruang gerak mereka di hadapan publik sampai kasus selesai.

Dengan langkah yang tepat, diharapkan fenomena ini bisa dihentikan, dan masyarakat bisa kembali percaya bahwa pejabat publik bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan pribadi.