Sewindu Dewis Akbar, Transformasi Berkelanjutan Lab Komputer Mini Jadi Pembangkit Ekonomi

Foto kedua Lap Komputer Mini dan Gamelan Komputer karya Dewis Akbar.
Sumber :
  • VIVA/Muhammad AR

Garut, VIVA – Sewindu berlalu sejak Dewis Akbar, pemuda asal Garut yang menggagas Lab Komputer mini Raspberry Lab di Sekolah Dasar Negeri 10 Regol, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada tahun 2016. Dari sini juga Kang Dewis, begitu sapa akrabnya, menciptakan 'Salon Simulator' gamelan dari komputer.

Mimpinya tak berhenti berkarya meski dia sudah banyak menoreh prestasi. Penyabet penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional Tbk pada tahun 2016 itu masih menekuni kecintaanya terhadap dunia teknologi. VIVA berkesempatan berbincang mengenai perjalanannya hingga hari ini.

Delapan tahun lalu Raspberry Lap yang digagas Dewis bersama kawannya, Budi Arifin, berhasil membina anak-anak sekolah dasar di perdesaan untuk mempelajari IT secara rutin. Pada waktu itu, hanya 3 unit yang digunakan secara berganian. Anak-anak diajarkan berbagai program komputer di sebuah ruang guru.

Dewis Akbar Peraih Penghargaan SATU Indonesia Award 2016. (Istimewa)

Photo :
  • VIVA.co.id/Muhammad AR (Bogor)

Kini Lab yang dilahirkan dua sekawan itu menjadi central teknologi di desa tersebut. Bahkan Lab mini ini kini sudah berkembang pesat hingga merambah ke 90 sekolah.

"Alhamdulillah, apresiasi dari SATU Indonesia Awards (SIA) dapat memperbanyak unit lab komputer mini yang telah digunakan oleh guru dan murid sampai kurang lebih 90 sekolah," katanya kepada VIVA, Senin, 28 Oktober 2028.

Dewis menceritakan, seiring berjalannya waktu, dia mengaku berhasil mewujudkan salah satu mimpinya membuat satu set Lab Komputer Mini berjalan yang cukup dibawa pada ransel dan dibawa ke sekolah lokasi belajar menggunakan sepeda motor. Gagasan konsep Lab Komputer Mini Berjalan ini mengantarnya meraih penghargaan menjadi Ashoka Fellow terpilih untuk regional Indonesia tahun 2018. Yayasan Ashoka adalah jejaring sosial entrepreneur terbesar di dunia. Dia mengungkapkan alasan mengapa dirinya terjun ke desa di kota kelahiranya itu didorong rasa kepedulian generasi muda terhadap kurang meleknya teknologi di era zaman digital ini.

Menurut Kang Dewis, Indonesia tidak kekurangan orang pintar, termasuk juga banyak ilmu dan teknologi baru yang dihasilkan. Namun sayangnya kebanyakan ilmu dan teknologi tersebut belum terimplementasikan ke masyarakat, khususnya masyarakat di desa.

"Garut itu tidak jauh dengan ITB serta Unpad--beberapa jam saja sampai. Namun ilmu-ilmu yang ada di sana hanya sebagian saja yang diterapkan di seluruh lapisan masyarakat sehingga Garut baru lepas status daerah tertinggal sekitar sepuluh tahun yang lalu," katanya.

Kang Dewis menuturkan, konsep Lap Komputer Mini dan Gamelan Komputer yang digagasnya tak lepas dari pengenalan teknologi di pertanian. Menurut alumni IPB University itu, Garut sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pertanian. Bahkan, ilmu pertanian yang dipadukan dengan pendidikan teknologi digital sudah dijalankan oleh KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) sejak 2014, dan fokus mengenalkan dasar-dasar IT termasuk coding kepada anak-anak sekolah dasar.

Dengan harapan, anak-anak mampu menguasai teknologi pertanian. Dengan tujuan agar biaya kegiatan serta sarana pendidikan tidak perlu minta dari orang tua sehingga anak-anak yang berminat menjadi petani mampu berbekal berbagai teknologi tepat guna, seperti power tools dan berbagai mesin lainnya yang dapat menghemat waktu dan tenaga.

"Contohnya, mengapa irigasi pertanian dari selang yang diperbarui ke selang kepala, tidak langsung menjadi irigasi tetes agar terasa prosesnya. Kalau di kalangan IT sering disebut sebagai penerapan Gamification," tuturnya.

Dewis berharap anak-anak khususnya yang tinggal di daerah perdesaan atau pegunungan tumbuh menjadi agen distribusi teknologi pembangkit ekonomi. Istilah distribusi teknologi pembangkit ekonomi ini, kata Dewis, generasi muda yang tinggal di desa membiasakan mencari ilmu pengetahuan dari internet, menerapkan dan merasakan manfaatnya.

Selain itu karena keterbatasan bangunan sekolah baik SMP dan SMA, serta berbagai faktor lain termasuk kondisi ekonomi orang tua, dari tiap jenjang pendidikan selalu ada persentasi signifikan siswa yang putus sekolah.

"Baik dari SD ke SMP, SMP ke SMA, apalagi SMA ke kuliah. Bagi sebagian besar anak-anak yang putus sekolah, umumnya proses belajar pun putus pula sehingga hanya bisa mencari pekerjaan yang pendapatannya rendah. Namun kembali bila ketika SD, mereka telah dibekali bagaimana mencari dan memanfaatkan berbagai ilmu dan teknologi dari internet, mereka akan menjadi lifelong learners yang produktif dan meningkatkan taraf kesejahteraan baik keluarga maupun masyarakat di sekitarnya," kata Dewis.

Dewis mengatakan, dengan makin lancarnya internet di desa, maka anak-anak dan pemuda khususnya di perdesaan tidak lagi wajib merantau ke kota untuk mencari ilmu pengetahuan dan modal. Dengan adanya internet dan teknokogi, dapat mencari cari ilmu yang dibutuhkan kemudian terapkan di sekitar domisilinya masing-masing.

"Sebelum zaman lancar internet, pemuda daerah memang perlu merantau kuliah ke kota karena ilmu dari dosen-dosen dan perpustakaan lebih mudah dicari di sana," cetusnya.

Usaha Dewis bukan tanpa aral melintang, saat Indonesia diterpa wabah Covid-19 tahun 2020, kegiatan lab komputer mini otomatis terhenti. Dan, dampak signifikan juga naiknya harga Single Board Computer yang merupakan komponen utama lab komputer mini akibat faktor supply chain. Bahkan ketika pandemi berakhir, harga komponen utama tersebut seperti monitor LCD sudah tidak terjangkau dengan dana yang ada untuk mengganti set lama yang sudah terasa lamban.

"Sehingga saya berupaya mencari solusi bagaimana siswa dapat berbagi tugas baik dengan teman sebayanya maupun orang dewasa dalam sebuah kegiatan wirausaha agar selanjutnya kegiatan pendidikan terus dapat berjalan tanpa harus terus melakukan penggalangan dana," katanya.

Prestasinya juga menorek sederet prestasi lainnya. Setelah membuat Saron (Gamelan) Simulator yang memenangkan Indonesia ICT Awards (INAICTA) 2014 yang diselenggarakan Kemkominfo dan Merit Award Asia Pacific ICT Awards (APICTA) 2014, karya lainnya yang notable adalah Buku Tamu Android (finalis INAICTA 2015), MeRe (Metakeun Rerencangan) yang terpilih pada 10 inovasi terbaik di GeoInnovation Bootcamp 2017, yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).

Karya Dewis yakni Gamelan Simulator terpilih ketiga kalinya untuk presentasi di Gedung Sate pada ajang Anugerah Inovasi Jawa Barat 2015, 2016 dan 2018. Serta sebagai salah satu pemenang Youth Innovation Festival 2022 yang diselenggarakan Pemprov Jabar. Bahkan, karya itu pun berhasil mendapatkan penghargaan internasional Merit Award APICTA 2018 di Guangzhou, China. Prestasi yang diraih Dewis merupakan bagian kisah yang terus inspiratif dalam "Bersama, Berkarya, Berkelanjutan" dalam  Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia.

"Karena prinsip kami membuat karya, problem based yang dialami sehari-hari, karya-karya yang dihasilkan masih cukup relevan sampai sekarang," katanya.