Pakar Hukum: Masalah Korupsi Itu yang Pokok adalah Suap Menyuap

Seminar nasional di Universitas Kristen Indonesia (UKI)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Edwin Firdaus

Jakarta, VIVA – Praktisi Hukum Maqdir Ismail mengatakan bahwa masih terdapat kerancuan di pasal-pasal Pemberantasan Korupsi. Misalnya, antara Pasal 2 ayat 1 dengan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. 

Maqdir menyebut masalah korupsi tidak hanya menyangkut kerugian negara. Justru, hakikat dari korupsi di seluruh dunia yakni adanya suap menyuap. 

Maqdir Ismail Bawa Uang Rp27 M ke Kejagung

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Demikian itu disampaikan dalam acara seminar nasional di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta Pusat, yang mengangkat 'Tema: Tak ada Suap, tak ada Korupsi', Selasa, 29 Oktober 2024.

"Sebenarnya korupsi itu bukan hanya menyangkut kerugian negara, tetapi yang pokok adalah suap-menyuap, penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya ini diatur dalam undang-undang kita," kata Maqdir. 

Maqdir yang juga seorang Advokat menekankan, setiap orang seharusnya menaruh perhatian tentang bagaimana tindak pidana korupsi berlangsung. 

"Jadi ini yang juga mungkin kalian boleh tanya kepada teman-teman yang bekas pimpinan KPK, bagaimana ketika mereka mau melaksanakan kerja sama dengan penegak hukum asing, ya tidak diterima karena tindak perkaranya tidak ada dalam suap menyuap," katanya.

Untuk itu, kata Maqdir, pihaknya mengajukan pembatalan pasal 2 ayat 1 yang menyebut tentang pidana perbuatan memperkaya diri yang merugikan keuangan negara. Sedangkan pasal 3 yang menyebut tentang pidana penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang merugikan keuangan negara, diajukan untuk direvisi.

Frase yang dipermasalahkan adalah, akibat aturan ini, penegak hukum hanya terfokus memaknai korupsi sebagai tindakan yang “merugikan negara” daripada “memperkaya diri”. 

Hal ini dinilai menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa, apalagi ketika keputusan direksi perusahaan atau pejabat publik yang didasari niat baik tetap berujung pada kerugian bisnis. Kerugian tersebut kemudian dianggap sebagai tindak korupsi, meski tidak terbukti bertujuan memperkaya diri.

Lagipula, Maqdir menambahkan, sejatinya, salah satu faktor terjadi korupsi itu karena keserakahan orang.

"Salah satu penyebab terjadinya kekacauan masalah korupsi adalah karena keserakahan orang. Orang serakah ini lah yang harusnya menjadi titik tolak dalam peberantasan korupsi," imbuhnya. 

Sementara itu, Guru Besar IPDN, Ahli Keuangan Negara, Dadang Suwanda menilai dalam sebuah perkara tidak semua harus dimasukan dalam ranah pidana dan dianggap merugikan negara. 

"Dalam dunia pemerintahan ada 4 pidana, kalau terjadi penyimpangan ini penyimpangan di mana jangan semua ditarik ke pidana, kalau administratif tarik ke administratif," kata Dadang.

"Apakah ini kerugian negara atau bukan, tapi lebih kepada ada enggak kerugian negara, jangan sampai enggak ada kerugian negara tapi dipaksakan," kata Dadang. 

Dadang menilai dalam hal administrasi terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki yaitu sistem pengendalian managemen. Menurutnya, perlu adanya pemisahan pihak yang menetukan kerugian negara dalam sebuah kasus.

"Jadi yang menentukan kerugian negara siapa, yang menentukan kerugian negara jangan semua diborong sama hukum. Pisahkan di situ, yang berwenang menentukan adalah BPK. Harus pasti siapa yang menentukan kerugian negara siapa, siapa yang punya kewenangan," tuturnya.

Petugas KPK tunjukkan uang dugaan suap (Foto Ilustrasi).

Photo :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Pada kesempatan sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Dr. John Pieris, menilai hukum bisa berlaku efektif jika memenuhi kejelasan dan norma hukum. Sehingga menurutnya tidak ada orang yang tidak bersalah justru dituduhkan sebagai korupsi. 

"Norma hukum harus jelas misalnya soal suap, jangan mengada-ngada itu suap kasian anak bangsa yang tidak bersalah atau mungin salanya sedikit dituduh sebagai koruptor. Kasihan kan masa depanya terancam," ujarnya. "Jadi tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan baik vertikal maupun horizontal," imbuhnya.