Hukuman Eks Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar Diperberat Jadi 10 Tahun Penjara

Mantan Direktur Utama Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Jakarta, VIVA – Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar terkait dengan kasus pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. Kini, hakim memberikan hukuman lebih berat kepada Emirsyah Satar menjadi 10 tahun bui.

Emirsyah Satar juga diminta untuk membyar denda sebanyak Rp1 miliar. Jika Emirsyah tak mampu membayarnya, maka akan diganti hukuman badan selama enam bulan.

"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Emirsyah Satar oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan," bunyi amar putusan dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Senin 28 Oktober 2024.

Emirsyah Satar telah mendapatkan vonis 5 tahun penjara dalam kasus pengadaan pesawat Garuda Indonesia. 

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Emirsyah Satar oleh karena itu dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda sejumlah Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan," ujar hakim ketua Rianto Adam Pontoh di ruang sidang, Rabu 31 Juli 2024.

Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar (tengah) di KPK.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

Hakim menilai Emirsyah Satar secara sah bersalah dalam kasus korupsi pengadaan pesawat Garuda. Emirsyah diyakini bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer penuntut umum Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Hakim pun juga menjatuhi hukuman tambahan kepada Emirsyah Satar berupa uang pengganti sebanyak  US$86.367.019 subsider dua tahun penjara.

Kemudian, adapun sejumlah hal yang memberatkan untuk Emirsyah Satar salah satunya yakni bertugas sebagai direktur utama BUMN tidak berupaya mewujudkan pelaksanaan amanat UU 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Hal meringankan untuk Emirsyah Satara yakni salah satunya sedang menjalani pidana penjara terkait dengan perkara tindak pidana korupsi. Sepanjang pengamatan majelis hakim, Emirsyah dinilai bersikap sopan selama persidangan.

Setelah itu, Emirsyah Satar bersama dengan jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan banding.

Adapun vonis tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang ingin Emirsyah dihukum dengan pidana delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan ditambah uang pengganti US$86.367.019 subsider empat tahun penjara.

Emirsyah disebut merugikan keuangan negara hingga US$609.814.504 atau sekitar Rp9,37 triliun terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.

Ia melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Agus Wahyudo selaku mantan Executive Project Manager Aircraft Delivery PT GA dan Hadinoto Soedigno selaku mantan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia 2007-2012 (almarhum).

Kemudian bersama Soetikno Soedarjo selaku mantan pemilik PT Mugi Rekso Abadi, PT Ardyaparamita Ayuprakarsa, Hollingworth Management Internasional dan sebagai pihak intermediary (commercial advisor) yang mewakili kepentingan Avions De Transport Regional (ATR) dan Bombardier.

Lalu bersama mantan VP Fleet Acquisition PT GA Adrian Azhar, mantan Vice President Treasury Management PT GA Albert Burhan, dan mantan Vice President Strategic Management Office PT GA Setijo Awibowo.

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama itu disebut turut menguntungkan sejumlah korporasi yakni Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC).