Sunarto Jadi Ketua MA, Penegakan Hukum Diharapkan Bebas dari Intervensi
- Youtube MA
Jakarta, VIVA – Hakim Agung Sunarto yang telah terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) menjadi angin segar upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sunarto diharapkan bisa mewujudkan peradilan bersih yang jauh dari intervensi.
Harapan muncul dari Komisi Yudisial (KY). Anggota KY, Prof Amzulian berharap Sunarto dapat membawa perubahan untuk MA. Sehingga MA menjadi badan peradilan yang agung dan semakin dipercaya publik.
“Terpilihnya Prof Sunarto sebagai Ketua MA, menjadi angin segar penegakan hukum yang berkeadilan serta bebas dari intervensi. Harapannya, semoga MA menjadi badan peradilan yang benar-benar dipercaya publik,” harap Amzulian dikutip dari keterangannya, Minggu, 27 Oktober 2024.
Tak hanya Amzulian, para akademisi, pakar hukum dan pegiat antikorupsi juga mempunyai harapan yang sama pada Sunarto. Saat ini, muruah MA sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan dinilai ada pada sosok Sunarto.
Para pakar juga mewanti Sunarto agar bebas dari intervensi dalam penanganan kasus hukum. Salah satunya dalam proses penanganan kasus Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.
Sunarto diminta untuk benar-benar mempergunakan hukum pada tempatnya, dan menggunakan nuraninya dalam memproses perkara Maming. Hal itu dikarenakan, adanya dugaan kuat kalau kasus Maming sengaja direkayasa.
Para pakar seperti Prof Romli Sasmita dari Universitas Padjadjaran, menilai adanya ketidaksesuaian aturan hukum dalam putusan hakim dalam kasus Mardani H Maming. Dia menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan Maming tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.
"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK tersebut.
Selain itu, Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) Todung Mulya Lubis menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Mardani H Maming ke jeruji besi.
Menurutnya, vonis yang dijatuhkan kepada Mardani H Maming tidak memiliki alat bukti memadai dan terkesan dipaksakan.
"Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya," kata Todung.
Dia juga berpendapat bahwa tidak ada unsur keadilan dalam penjatuhan vonis terhadap terpidana. “Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti," ujarnya.
Dia juga berharap agar Mahkamah Agung (MA) benar-benar mengevaluasi kembali secara teliti terhadap vonis yang sudah dijatuhkan kepada terpidana setelah amicus curiae dikirimkan.
"Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya. Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan," tuturnya.
Senada Prof. Dr, Topo Santoso, SH, MH meminta agar pengusaha Mardani H Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim. Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini, menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili maming
“Putusan pengadilan atas Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,”katanya.
Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
“Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.
Sementara itu, sebelumnya Pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, Dr Mahrus Ali menilai dengan tegas menyatakan bahwa Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
“Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung,” terang Mahrus Ali.