LSF: Pentingnya Surat Tanda Lulus Sensor Film di Era Digital

Ketua Komisi III Lembaga Sensor Film (LSF) Kuat Prihatin
Sumber :
  • VIVA.co.id/Syarifuddin Nasution (Jambi)

Jambi, VIVA - Dalam beberapa tahun terakhir, film tanpa Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) semakin marak di internet, mengabaikan ketentuan yang ada untuk melaporkan film kepada lembaga sensor. Situasi ini menjadi perhatian serius, terutama dalam konteks perlindungan anak dan remaja.

Ketua Komisi III Lembaga Sensor Film (LSF), Kuat Prihatin, menyatakan bahwa sepanjang 2023 dan 2024, LSF telah menyensor ribuan film sesuai dengan kategori usia. Meski demikian, film yang tidak melalui LSF tidak memiliki STLS dan harus dilaporkan.

"Ada 41 ribu judul film yang telah disensor dengan berbagai kategori, semuanya melalui LSF," jelasnya pada Selasa, 15 Oktober 2024.

Kuat juga menekankan pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk DPR RI, KPI, dan Keminfo RI, untuk menangani masalah film yang belum memiliki STLS. Ini penting agar film yang tayang tidak dapat diakses oleh generasi muda tanpa pengawasan.

"LSF berkomitmen untuk memastikan bahwa film yang ditayangkan sesuai dengan ketentuan usia, tanpa membatasi kreativitas pembuat film. Namun, mereka perlu mendapatkan STLS agar LSF dapat mengkategorikan film yang ditayangkan," tegas Kuat saat Sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Jambi.

Kuat menambahkan bahwa meskipun penyensoran bukanlah proses yang mengurangi nilai film, lembaga sensor memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi tayangan berdasarkan usia penontonnya. "Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009, kami tidak hanya menyentuh film, tetapi juga menilai dan mengevaluasi makna dan konten film tersebut," ujarnya.

Di sisi lain, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V, Agus Widiatmoko, mengingatkan pentingnya peran orang tua dan guru dalam mendidik anak mengenai tayangan yang sesuai. Ia menegaskan bahwa film harus dilihat sebagai sumber ilmu pengetahuan, bukan sekadar hiburan. "Orang tua harus bijak dalam memilih tayangan agar anak-anak tidak terpapar konten yang tidak sesuai," katanya.

Agus menambahkan bahwa sosialisasi harus dilakukan dari tingkat PAUD hingga SMA untuk memastikan generasi muda memahami isu-isu lingkungan dan sosial yang diangkat dalam film. 

"Melalui sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Provinsi Jambi, kami berharap dapat memberikan pemahaman kepada orang tua, guru, dan dinas pendidikan mengenai pentingnya memilih tayangan film yang bermanfaat bagi perkembangan anak," ujarnya. 

Dengan kesadaran yang lebih tinggi, diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam mengakses film, sehingga generasi mendatang dapat tumbuh dengan baik dan terlindungi dari konten yang tidak sesuai.