Gen Z Disebut Perlu Patahkan Stigma dan Sadari Realita saat Mulai Karir

Psikolog klinis Mira Tripuspita
Sumber :
  • VIVA.co.id/Foe Peace Simbolon

Jakarta, VIVA –  Generasi Z, alias Gen Z, mulai mendominasi dunia kerja. Memang mereka lahir di medio 1997-2012 atau tumbuh dalam era digital.

Desakan media sosial yang dikonsumsi setiap waktu serta pesan dari influencer jadi kiblat mereka dalam mengambil keputusan, termasuk ajakan jadi diri sendiri dan apa adanya dalam proses melamar pekerjaan. Psikolog klinis, Mira Tripuspita mengatakan memang baik bagi mereka punya ambisi, tapi harus diimbangi dengan realita guna menghindari stres.

"Oke banget punya ambisi, tapi perlu check-in dengan realita untuk menghindari stres. Fokus pada apa yang bisa kita kendalikan,” kata Mira dalam diskusi bertajuk 'Gen Z: Ambisi vs Kesehatan Mental' yang diselenggarakan Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan ITS (Institut Teknik Surabaya, Kamis, 10 Oktober 2024.

Ilustrasi Gen Z

Photo :
  • Pexels.com

Banyak stigma yang melekat pada Gen Z. Generasi yang melek teknologi ini dinilai punya sejumlah karakter khas. Semisal mereka dikenal sebagai generasi stroberi (buah merah yang cantik tapi rapuh), yang sangat sensitif dengan tekanan dunia luar. Anak-anak Gen Z, kata dia, menganggap kesehatan mental dan keseimbangan kerja-hidup sehari-hari sebagai prioritas utama.

‘’Mereka bahkan terbiasa melakukan self diagnosed yang tidak pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya,” kata wanita yang juga VP Business Support, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa itu.

Lebih lanjut Mira mengatakan, Gen Z kerap berpikir kurang jauh. Semisal, mereka punya ambisi untuk memiliki rumah, tapi enggan melakukan investasi. Mayoritas Gen Z pun dinilai berperilaku konsumtif, rutin menyambangi warung kopi untuk nongkrong.

Ilustrasi anak muda.

Photo :
  • Freepik/freepik

Ada pula wishlist negara yang wajib dikunjungi. Bahkan, lanjutnya, menurut penelitian, 75 persen Gen Z sudah memiliki setidaknya satu tiket konser untuk enam bulan ke depan. Semua itu dengan alasan demi healing, merilis stres.

"Konsep FOMO (Fear of Missing Out/ketakutan akan ketertinggalan), YOLO (You Only Live Once/ hidup hanya sekali), dan FOPO (Fear of People Opinion/ketakutan terhadap pendapat orang lain) mendukung seluruh ambisi itu," ujarnya lagi.