Kemenag Tegaskan KUA Tak Layani Pernikahan di Bawah Umur

Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag) RI, Sunanto.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham

Jakarta, VIVA - Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag) RI, Sunanto atau Cak Nanto mengatakan bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) tak melayani pernikahan di bawah umur yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Hal tersebut dia sampaikan saat ditanya mengenai kabar pernikahan dini yang sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat di media sosial.

"Kalau (menikah) resmi pasti ketolak, kalau resmi ya. Kalau nikah resmi belum cukup umur, pasti ketolak. Berarti tidak ada yang resmi itu nikahnya," ujar Cak Nanto di Jakarta Pusat, pada Senin, 7 Oktober 2024. 

Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag) RI, Sunanto.

Photo :
  • VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham

Adapun, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur bahwa batas minimal laki-laki dan perempuan menikah adalah pada usia 19 tahun.

Akan tetapi, di ayat kedua pasal itu disebutkan bahwa dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama, dengan alasan sangat mendesak yang disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Adapun, yang dimaksud penyimpangan adalah hanya dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua dari salah satu atau kedua belah pihak dari calon mempelai kepada Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan pengadilan negeri bagi yang lainnya, apabila pihak pria dan wanita berumur di bawah 19 tahun.

Sementara, yang dimaksud dengan "alasan sangat mendesak" adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. 

Lalu, Pasal 7 Ayat (3) UU Perkawinan menyebutkan bahwa pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama itu wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, dan pengadilan negeri bagi yang beragama lainnya, diketahui diberikan berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.