Dinilai Sebagai Alat Propaganda Soeharto, KontraS Minta Penayangan Film G30S/PKI Dihentikan

Sampul film G30s/PKI yang pernah menjadi tontonan wajib di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.
Sumber :
  • cinema-xcinema.blogspot.com

Jakarta, VIVA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam penayangan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI oleh sejumlah stasiun televisi sepanjang September 2024.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan film yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada tahun 1984 ini mengandung banyak penyimpangan sejarah.

Menurut KontraS film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film propaganda narasi dari rezim Soeharto untuk merawat upaya peminggiran negara terhadap PKI yang telah menyebabkan pembunuhan massal terhadap masyarakat di seluruh Indonesia sepanjang 1965-1966.

"Film ini justru kontraproduktif dengan semangat reformasi Indonesia, yaitu mengakhiri rezim Orde Baru yang otoriter dan mengganti dengan sistem yang demokratis dan mengedepankan hak asasi manusia," kata Dimas dalam keterangan resminya yang dikutip Senin, 30 September 2024.

Para korban dituduh terlibat dalam pembunuhan terhadap tujuh jenderal Angkatan Darat meskipun pada kenyataannya mereka tidak melakukan kesalahan apapun.

Sebagai bagian dari upaya propaganda, film ini menyajikan ketidaksesuaian informasi dengan menyudutkan PKI. Oleh karena itu, penayangan film ini bagi publik justru merawat kebencian dan mewariskan ingatan kolektif yang keliru mengenai sejarah bangsa Indonesia.

Penayangan film ini pun dihentikan pada 1998 oleh Menteri Penerangan Muhammad Yunus karena film ini tidak selaras dengan semangat Reformasi.

Pembunuhan massal 1965-1966 bukanlah sebuah mitos. Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia ini telah diakui dan dinyatakan oleh sejumlah lembaga negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan

Oleh karena itu, mempertahankan stigma terhadap korban dan menyebarkan memori kolektif yang keliru mengenai peristiwa ini dengan penayangan film tersebut justru bertentangan dengan upaya pemajuan hak asasi manusia dan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasus tersebut.

KontraS juga menganggap film ini dapat menambah luka bagi para penyintas 1965 dan film ini juga mendistorsi sejarah dengan mengabaikan konteks dan dampak psikologis dari tayangan tersebut, sehingga negara seharusnya aktif melindungi masyarakat dari narasi yang merugikan, memastikan bahwa informasi yang disajikan tidak hanya benar tetapi juga memulihkan hak-hak korban Peristiwa 1965.

Justru penayangan film pengkhianatan G30S/PKI hanya akan menghambat proses pengungkapan kebenaran dan pemulihan tidak hanya bagi para korban dan penyintas 1965 tetapi juga bagi generasi saat ini agar kekerasan serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.

KontraS dalam keterangan resminya mendesak 4 poin, yaitu:

  1. Stasiun Televisi untuk tidak menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
  2.  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengimbau dan melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh stasiun televisi di Indonesia agar tidak menayangkan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” karena muatan film yang bertentangan dengan hak asasi manusia
  3. Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah nyata dan menyeluruh dalam mengungkap kebenaran mengenai peristiwa 1965-1966, memulihkan korban, dan menghapuskan stigma yang melekat pada korban 1965-1966 dan keluarganya
  4.  Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti proses hukum peristiwa 1965-1966 ke tahap penyidikan, alih-alih menegasikan kasus ini sebagai pelanggaran HAM yang berat.