Crazy Rich PIK Helena Lim Kecipratan Uang Rp 900 Juta Usai Bantu Tampung Uang Haram Harvey Moeis

Crazy Rich PIK Helena Lim jalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat soal kasus korupsi Timah
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zendy Pradana

Jakarta, VIVA – Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim mendapatkan uang Rp 900 juta usai membantu menampung uang pengamanan dari lima perusahaan smelter swasta senilai Rp 420 miliar, dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 sampai dengan 2022.

Atas bantuan pengamanan tersebut, Helena Lim pun mendapatkan keuntungan sebanyak Rp 900 juta.

"Terdakwa Helena melalui PT Quantum Skyline Exchange mendapatkan keuntungan seluruhnya kurang lebih sebesar Rp 900 juta dengan perhitungan Rp 30 kali USD 30 juta, jumlah yang ditukarkan di PT Quantum Skyline Exchange," ujar jaksa di ruang sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu 21 Agustus 2024.

Pemeriksaan Helena Lim Crazy Rich PIK di Kejagung

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Mulanya, kasus korupsi ini terjadi karena adanya Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) periode 2015-2019 ilegal terhadap 5 (lima) perusahaan smelter disetujui oleh Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode tersebut. 

RKAB itupun dibuat hanya untuk formalitas demi mengakomodir pengambilan dan pengelolaan bijih timah secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk.

Kemudian pada tahun 2019, pemilik smelter mengetahui jika tak akan mendapatkan persetujuan RKAB lantaran tak memiliki competent person (CP). Mereka mengusulkan ke PT Timah Tbk untuk dibuatkan suatu kesepakatan agar bijih timah ilegal milik smelter swasta dapat dijual dan dilakukan pemurnian serta pelogaman tapi syarat pembayaran semuanya harus dilakukan PT Timah.

Singkat cerita, kerja sama itu disepakati padahal tak termuat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) PT Timah Tbk tahun 2018. Selain itu, jaksa mengatakan kesepakatan program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah PT Timah Tbk juga merupakan akal-akalan, di mana harga sewanya jauh melebihi nilai HPP smelter PT Timah.

Selanjutnya, harga sewa peralatan processing pelogaman timah itu juga dibuat tanpa feasibility study dengan kajian tanggal mundur (back date).

Kesepatakan harga sewa itupun, sebesar USD 3.700 per ton SN di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk ke CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, namun khusus PT Refined Bangka Tin yakni smelter yang diwakili Harvey diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton SN sehingga nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton SN.

Kasus korupsi Timah ini, Harvey Moeis merupakan inisiator program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah itu meminta pihak-pihak smelter menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan sebagai uang pengamanan.

Kembali menyingkat cerita, jaksa menyatakan bahwa Helena Lim mendapatkan keuntungan Rp900 juta dari penampungan uang Harvey Moeis ketika melakukan pengamanan biaya dari smelter swasta. Keuntungan itu diperoleh Helena melalui penukaran valuta asing yang dilakukan di PT QSE.

"Atas penukaran uang Harvey Moeis, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa, terdakwa Helena melalui PT Quantum Skyline Exchange mendapatkan keuntungan seluruhnya kurang lebih sebesar Rp 900 juta dengan perhitungan Rp 30 kali USD 30 juta, jumlah yang ditukarkan di PT Quantum Skyline Exchange," kata dia.

Kemudian, uang itu diserahkan Helena ke Harvey secara transfer dan tunai. Harvey lalu menyerahkan sebagian uang itu ke PT Refined Bangka Tin dan untuk kepentingan pribadinya yang seolah tak ada kaitannya dengan uang hasil tindak pidana korupsi.

Lantas, uang yang diterima Harvey Moeis melalui Helena dari PT QSE pada 2018-2023 dilakukan empat kali transfer. Adapun, transfer pertama senilai Rp 6.711.215.000 (Rp 6,7 miliar), transfer kedua senilai Rp 2.746.646.999 (Rp 2,7 miliar), transfer ketiga senilai Rp 32.117.657.062 (Rp 32,1 miliar) dan keempat Rp 5,5 miliar.

Jaksa mengungkapkan bahwa PT Timah membeli bijih timah kadar rendah dengan harga kadar tinggi yang ditambang oleh penambang ilegal di dalam wilayah IUP PT Timah. Sementara itu, penentuan tonase bijih timah yang dibeli menggunakan 'metode kaleng susu' tanpa uji laboratorium.

"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024," kata jaksa.

Selanjutnya, crazy rich PIK itu juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jaksa mengatakan Helena menyamarkan transaksi terkait uang pengamanan seolah-olah dana CSR dari Harvey Moeis.

"Bahwa dalam melakukan sejumlah transaksi uang dari pengumpulan dana pengamanan seolah-olah CSR tersebut, terdakwa Helena menggunakan beberapa rekening dan beberapa money changer yang disembunyikan dan disamarkan," kata jaksa.

Adapun penyamaran transaksi itu dilakukan di antaranya dengan menuliskan tujuan transaksi ke Harvey Moeis disamarkan sebagai setoran modal usaha atau pembayaran hutang piutang. Padahal, kata jaksa, tak ada hubungan hutang piutang atau modal usaha antara Helena maupun PT QSE dngan Harvey Moeis.

Jaksa mengatakan transaksi itu juga tak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tak menggunakan kartu identitas penduduk dan tak dicatat dalam transaksi keuangan PT QSE. Helena juga tak melaporkan transaksi itu ke Bank Indonesia serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Jaksa mengatakan Helena juga dengan sengaja menghilangkan atau memusnahkan bukti transaksi keuangan yang dilakukan oleh Harvey Moeis dkk. Harta benda milik Helena yang diduga terkait TPPU juga telah disita seperti mobil hingga tas mewah.

Helena Lim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 56  kedua KUHP dan Pasal 3 serta Pasal 4 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 56 kesatu KUHP.