Helena Lim Didakwa Tampung Duit Panas Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah
- VIVA.co.id/Zendy Pradana
Jakarta, VIVA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa ke crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim telah merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus korupsi penyalahgunaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Jaksa juga mengultimatum Helena Lim dakwaan karena sudah memberikan sarana money changer miliknya untuk menampung uang pengamanan dari Harvey Moeis.
Sidang dakwaan untuk Helena Lim digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu 21 Agustus 2024. Dalam sidang tersebut, jaksa menyebut Helena Lim selaku pemilik PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) turut menampung uang pengamanan dari Harvey Moeis terkait kegiatan kerja sama smelter swasta dengan PT Timah Tbk.
Adapun lima smelter swasta yang bekerja sama dengan para terdakwa dalam kasus korupsi Timah ini yakni PT Timah Tbk yakni PT Refined Bangka Tin beserta perusahaan afiliasinya, CV Venus Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, PT Sariwiguna Binasentosa beserta perusahaan afiliasinya, PT Stanindo Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, dan PT Tinindo Internusa beserta perusahaan afiliasinya. Harvey Moeis pun dalam hal ini merupakan perwakilan dari PT Refined Bangka Tin.
"Terdakwa Helena memberikan sarana kepada Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin dengan menggunakan perusahaan money changer miliknya yakni PT Quantum Skyline Exchange untuk menampung uang pengamanan sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton yang seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility atau CSR dari CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa yang berasal dari hasil penambangan ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk," ujar jaksa di ruang sidang.
Mulanya, kasus korupsi ini terjadi karena adanya Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) periode 2015-2019 ilegal terhadap 5 (lima) perusahaan smelter disetujui oleh Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode tersebut.
RKAB itupun dibuat hanya untuk formalitas demi mengakomodir pengambilan dan pengelolaan bijih timah secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk.
Kemudian pada tahun 2019, pemilik smelter mengetahui jika tak akan mendapatkan persetujuan RKAB lantaran tak memiliki competent person (CP). Mereka mengusulkan ke PT Timah Tbk untuk dibuatkan suatu kesepakatan agar bijih timah ilegal milik smelter swasta dapat dijual dan dilakukan pemurnian serta pelogaman tapi syarat pembayaran semuanya harus dilakukan PT Timah.
Singkat cerita, kerja sama itu disepakati padahal tak termuat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) PT Timah Tbk tahun 2018. Selain itu, jaksa mengatakan kesepakatan program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah PT Timah Tbk juga merupakan akal-akalan, di mana harga sewanya jauh melebihi nilai HPP smelter PT Timah.
Selanjutnya, harga sewa peralatan processing pelogaman timah itu juga dibuat tanpa feasibility study dengan kajian tanggal mundur (back date).
Kesepatakan harga sewa itupun, sebesar USD 3.700 per ton SN di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk ke CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, namun khusus PT Refined Bangka Tin yakni smelter yang diwakili Harvey diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton SN sehingga nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton SN.
Uang Pengamanan
Dalam kasus korupsi Timah ini, Harvey Moeis merupakan inisiator program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah itu meminta pihak-pihak smelter menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan sebagai uang pengamanan.
Singkat cerita, jaksa menyatakan bahwa Helena Lim mendapatkan keuntungan Rp900 juta dari penampungan uang Harvey Moeis ketika melakukan pengamanan biaya dari smelter swasta. Keuntungan itu diperoleh Helena melalui penukaran valuta asing yang dilakukan di PT QSE.
"Atas penukaran uang Harvey Moeis, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa, terdakwa Helena melalui PT Quantum Skyline Exchange mendapatkan keuntungan seluruhnya kurang lebih sebesar Rp 900 juta dengan perhitungan Rp 30 kali USD 30 juta, jumlah yang ditukarkan di PT Quantum Skyline Exchange," kata dia.
Kemudian, uang itu diserahkan Helena ke Harvey secara transfer dan tunai. Harvey lalu menyerahkan sebagian uang itu ke PT Refined Bangka Tin dan untuk kepentingan pribadinya yang seolah tak ada kaitannya dengan uang hasil tindak pidana korupsi.
Lantas, uang yang diterima Harvey Moeis melalui Helena dari PT QSE pada 2018-2023 dilakukan empat kali transfer. Adapun, transfer pertama senilai Rp 6.711.215.000 (Rp 6,7 miliar), transfer kedua senilai Rp 2.746.646.999 (Rp 2,7 miliar), transfer ketiga senilai Rp 32.117.657.062 (Rp 32,1 miliar) dan keempat Rp 5,5 miliar.
Jaksa mengungkapkan bahwa PT Timah membeli bijih timah kadar rendah dengan harga kadar tinggi yang ditambang oleh penambang ilegal di dalam wilayah IUP PT Timah. Sementara itu, penentuan tonase bijih timah yang dibeli menggunakan 'metode kaleng susu' tanpa uji laboratorium.
"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024," kata jaksa.
Selanjutnya, crazy rich PIK itu juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jaksa mengatakan Helena menyamarkan transaksi terkait uang pengamanan seolah-olah dana CSR dari Harvey Moeis.
"Bahwa dalam melakukan sejumlah transaksi uang dari pengumpulan dana pengamanan seolah-olah CSR tersebut, terdakwa Helena menggunakan beberapa rekening dan beberapa money changer yang disembunyikan dan disamarkan," kata jaksa.
Adapun penyamaran transaksi itu dilakukan diantaranya dengan menuliskan tujuan transaksi ke Harvey Moeis disamarkan sebagai setoran modal usaha atau pembayaran hutang piutang. Padahal, kata jaksa, tak ada hubungan utang piutang atau modal usaha antara Helena maupun PT QSE dengan Harvey Moeis.
Jaksa mengatakan transaksi itu juga tak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tak menggunakan kartu identitas penduduk dan tak dicatat dalam transaksi keuangan PT QSE. Helena juga tak melaporkan transaksi itu ke Bank Indonesia serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Jaksa mengatakan Helena juga dengan sengaja menghilangkan atau memusnahkan bukti transaksi keuangan yang dilakukan oleh Harvey Moeis dkk. Harta benda milik Helena yang diduga terkait TPPU telah disita seperti mobil hingga tas mewah.
Helena Lim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 56 kedua KUHP dan Pasal 3 serta Pasal 4 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 56 kesatu KUHP.