KTP Warga Jakarta Dicatut untuk Dukung Dharma-Kun, Mahfud MD: Harus Dipidanakan
- VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham
Jakarta, VIVA – Pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) KTP untuk mendukung Bakal Calon Gubernur Independen di Pilkada Jakarta 2024 telah menjadi isu yang sangat sensitif dan kontroversial.
Awalnya, dugaan pencatutan NIK KTP secara sepihak itu viral di media sosial X, dengan beberapa warga menemukan bahwa KTP mereka tercatat sebagai pendukung pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana, meskipun mereka tidak pernah memberikan dukungan tersebut.
Permasalahan ini juga menyita perhatian Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD. Ia menyatakan bahwa pencalonan Dharma Pongrekun-Kun Wardana harus dibatalkan karena mereka menggunakan data pribadi orang lain untuk kepentingan sendiri, sebuah tindakan yang melanggar hukum dan etika.
Mahfud MD juga menjelaskan bahwa penggunaan data pribadi tanpa izin untuk tujuan politik merupakan pelanggaran serius yang harus diusut secara pidana.
“Kalau mau jujur, mau objektif, itu harus dibatalkan dan dipidanakan, karena ada sekurang-kurangnya tiga undang-undang yang serius yang dilanggar,” kata Mahfud MD, dilansir dari Youtube tvOne, Minggu 18 Agustus 2024.
Mantan Menko Polhukam ini menjelaskan pasal-pasal yang dilanggar oleh pasangan Dharma-Kun, yang pada intinya secara tegas melarang siapa pun untuk memberitahukan atau menyebarkan data pribadi seseorang kepada pihak lain tanpa persetujuan yang sah.
“Satu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pasal 67 ayat 1,2, dan 3, melarang seseorang membuka data pribadi dengan cara melawan hukum, artinya tanpa izin dari siapa pun. Melarang memberitahu atau menyebarkan kepada seseorang,” ujar Mahfud.
Selain melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Dharma-Kun juga dinilai melanggar UU ITE. Mahfud menegaskan bahwa tindakan ini merupakan pelanggaran serius dengan ancaman hukuman yang berat
“Ada juga undang-undang ITE yang dilanggar, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, itu pelanggaran juga. Ancamannya berat tuh, mengambil data orang lain dan menyebarkannya tanpa izin,” ungkapnya.
Sedangkan dari segi hukuman pidana, Dharma-Kun bisa dikenakan UU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), jika seseorang yang KTPnya dicatut, merasa bahwa ia sudah dirugikan karena nama baiknya tercoreng.
“Bisa juga dihukum pidana, yaitu KUHP yang sekarang berlaku atas pencemaran nama baik. Misalnya, apakah orang yang dicuri datanya itu pencemaran nama baik? Bisa saja, kalau mau dikonstruksikan,” ujar Mahfud MD.
Mahfud MD menyatakan bahwa kasus Dharma-Kun melibatkan pelanggaran hukum, maka memerlukan tindakan cepat dari aparat penegak hukum seperti polisi. Oleh karena itu, polisi tidak perlu menunggu laporan untuk bertindak.
“Kalau sifatnya pelanggaran, penegak hukum, polisi, harus langsung bertindak, tidak usah menunggu laporan,” terangnya.
Mantan Calon Wakil Presiden itu mengusulkan agar polisi menindak aspek pidananya, sementara masyarakat bisa menuntut melalui jalur perdata. Selain itu, ia menekankan pentingnya penegakan hukum administrasi oleh lembaga seperti KPU dan Bawaslu, yang memiliki kewenangan untuk membatalkan pencalonan tersebut.
“Polisi ambil pidananya, rakyat ambil perdatanya, lalu hukum administrasi pidana. Hukum-hukum administrasi itu tuas Pemilu dan Bawaslu untuk membatalkan ini, karena permainan demokrasi sudah jorok,” tutupnya.