Majelis Masyayikh Gelar Uji Publik Rancangan Regulasi Rekognisi Pendidik pada Pendidikan Pesantren
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia, Majelis Masyayikh menggelar uji publik rancangan regulasi rekognisi pendidik pendidikan Pesantren yang telah mereka susun. Rancangan regulasi yang disusun Majelis Masyayikh ini menjadi kado istimewa bagi Pesantren, sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan Pesantren.
Uji publik ini digelar oleh Majelis Masyayikh pada hari Rabu 14 Agustus hingga tiga hari ke depan. Kegiatan yang dilaksanakan di Jakarta ini dihadiri oleh perwakilan berbagai pihak meliputi organisasi masyarakat seperti RMI PBNU, LP2M Muhammadiyah, pengasuh Pondok Pesantren, akademisi Pesantren, perwakilan asosiasi pendidikan Pesantren, perwakilan satuan pendidikan dan dari unsur pemerintah yakni Kemenag RI.
Proses ini diharapkan dapat menyempurnakan rancangan yang telah disusun sebelum nantinya ditetapkan menjadi keputusan Menteri Agama.
Rancangan regulasi rekognisi ini merupakan hasil kerja keras Majelis Masyayikh dalam beberapa bulan terakhir. Inisiatif penyusunan rancangan regulasi rekognisi ini bertujuan untuk memberikan penyetaraan kualifikasi, kompetensi dan rekognisi yang layak terhadap pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan Pesantren.
Pengakuan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi mereka yang telah menempuh jalur pendidikan di luar jenjang formal, sehingga keterampilan dan pengetahuan mereka diakui secara resmi.
Ketua Majelis Masyayikh, KH. Abdul Ghaffar Rozin yang akrab disapa Gus Rozin, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penyusunan dokumen ini merupakan salah satu bentuk pengakuan profesionalitas terhadap pendidik dan tenaga kependidikan pada pendidikan Pesantren.
"Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa semua bentuk pendidikan, terutama yang berbasis pada pendidikan Pesantren mendapatkan pengakuan yang setara. Ketika kemudian negara hadir dalam bentuk apapun (baik dalam bentuk penghargaan, remunerasi, atau bentuk lain) maka yang lebih berhak menerima adalah guru-guru atau kiai-kiai yang ikhlas, punya pengalaman yang panjang, punya kemampuan yang mendalam, tetapi tidak sempat kuliah formal," ujar Gus Rozin.
"Majelis Masyayikh menyiapkan jalan supaya ustadz-ustadz yang tidak menempuh pendidikan formal mendapatkan jalannya, mendapatkan rekognisinya. Ini adalah bagian dari peningkatan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan amanah yang diterima Majelis Masyayikh dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren," sambung Gus Rozin
Selain itu, uji publik ini bertujuan untuk memastikan bahwa rancangan regulasi tersebut dapat mengakomodasi berbagai pandangan dan kebutuhan dari semua pemangku kepentingan dunia pendidikan Pesantren di Indonesia.
“Uji publik ini bertujuan untuk mengecek lagi (aspek keterbacaan dan keterpakaian) apakah rancangan regulasi ini mampu menjawab kebutuhan yang ada. Misalnya para guru/Kiai yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan formal. Karena ada banyak Kiai yang memang pendidikannya nonformal tetapi beliau menguasai berbagai bidang keilmuan yang diajarkan di pendidikan formal," ungkap KH. Abd A’la, Anggota Majelis Masyayikh yang menaungi Divisi Santri Pendidik dan Tenaga Kependidikan Majelis Masyayikh.
"Dengan adanya rancangan regulasi rekognisi ini, diharapkan lulusan pesantren dapat diakui secara formal dan setara dengan lulusan lembaga pendidikan formal lainnya," lanjutnya.
Rancangan regulasi pendidik ini dihadirkan dengan harapan semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses kesempatan lebih luas dalam dunia kerja dan pendidikan formal, sehingga menciptakan SDM yang unggul dan berdaya saing global, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Rancangan regulasi rekognisi pendidik pendidikan Pesantren ini menjadi kado istimewa bagi pesantren, sebagai simbol penghargaan terhadap sejarah panjang pendidikan Pesantren di Indonesia dan upaya untuk memperkuat identitas nasional melalui pendidikan.