Korban Propaganda Teroris: Perempuan Harus Lebih Waspada terhadap Bujuk Rayu Radikalisme

Para korban teroris.
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta - Perempuan Indonesia diimbau untuk tidak mudah terjebak dalam bujuk rayu kelompok dan paham radikalisme, terutama yang mengatasnamakan agama. Pasalnya, perempuan, beserta anak dan remaja, merupakan salah satu kelompok paling rentan terpapar propaganda teroris.

Listyowati, korban propaganda teroris sekaligus mantan narapidana teroris (napiter) yang pernah terlibat dalam pendanaan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), menegaskan bahwa perempuan sering kali menjadi target karena kerentanannya terhadap bujuk rayu yang menjanjikan, terutama mereka yang belum memiliki pasangan atau berasal dari latar belakang keluarga yang tidak mendukung.

Listyowati mengungkapkan bahwa banyak perempuan yang terjerumus dalam radikalisme hanya karena terpengaruh janji-janji manis. 

"Perempuan itu terlalu sensitif. Jadi dikasih iming-iming sedikit saja, dia langsung mau," katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (5/9). 

Listyowati yang kini telah kembali ke pangkuan NKRI ini memaparkan bahwa perempuan yang tidak memiliki pasangan lebih rentan terjerembab. Selain itu, sosok perempuan lainnya yang dianggap rentan ialah mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti yang menimpa Listyowati. Faktor lain yang menurutnya menentukan adalah kondisi keluarga.

"Kalau keluarganya bagus, dia udah diarahkan orang tuanya. Yang single, belum punya pasangan, atau pisah, atau dari keluarga yang biasa, itu gampang banget. Kecuali dari keluarga atau pasangannya memang sudah benar," ujar dia.

Ia menambahkan bahwa anak-anak juga sangat rentan terpapar ideologi radikal karena ketidaktahuan mereka terhadap situasi yang kompleks. "Kasihan anak-anak yang tidak tahu apa-apa kalau sampai ikut aksi terorisme," tambahnya.

Pengalaman pribadi Listyowati membuat peringatan ini tak boleh diabaikan. Ia ditangkap pada 2020 saat hendak berangkat ke Yaman dan terlibat dalam pendanaan kelompok radikal saat menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di Hong Kong. 

Ia pertama kali terpikat pada narasi ideologi kekerasan radikalisme melalui saluran media sosial, dari YouTube, Facebook, Telegram, hingga WhatsApp. Di grup WhatsApp dan Telegram tersebut, dia dicekoki berbagai materi propaganda, termasuk dengan mengeksploitasi dalil-dalil keagamaan untuk melegitimasi aksi kekerasan.

Selain berbagi pengalaman, Listyowati menyatakan dukungannya terhadap program BNPT dalam melindungi perempuan, anak, dan remaja dari pengaruh radikal. Menurutnya, edukasi terhadap bahaya radikalisme harus lebih disebarluaskan agar mereka yang tidak memiliki tujuan hidup jelas tidak mudah terjebak. 

"Kalau kalian menemukan hal-hal berbau radikalisme, lebih baik tanya dulu dengan keluarga atau ustaz, jangan langsung ikut," pesannya kepada perempuan, anak, dan remaja.

Program sosialisasi BNPT yang mengedukasi masyarakat tentang bahaya radikalisme dianggapnya sangat penting untuk menghindari perempuan dan anak dari jeratan ideologi radikal. Dengan peningkatan kesadaran, diharapkan tidak ada lagi perempuan yang menjadi korban bujuk rayu teroris dan anak-anak dapat tumbuh dengan aman dan bebas dari pengaruh buruk.