Haidar Alwi Sebut Komitmen Polri Berantas Judi Online Tak Perlu Diragukan
- Istimewa
Jakarta – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), Haidar Alwi menilai, pernyataan Ketua Umum Prabowo Mania 08, Immanuel Ebenezer (Noel) yang meragukan komitmen Polri dalam pemberantasan judi online tidak sesuai dengan data dan fakta.
Melalui pemberitaan sejumlah media, Noel menyebut pemberantasan judi online belum disertai dengan langkah konkret. Padahal, kata Haidar Alwi, selama kurun waktu 2023 sampai 17 Juni 2024, Polri telah mengungkap sebanyak 2.306 kasus judi online dengan jumlah tersangka mencapai 3.609 orang.
Noel juga menyebut semua pihak hanya sibuk beretorika dan bandar besar tidak pernah tertangkap. Sementara, lanjut Haidar Alwi, data dan fakta menunjukkan Polri telah berhasil menangkap sejumlah bandar besar judi online.
Mulai dari Apin BK yang ditangkap di Malaysia, Elvan Adrian, Tjokro Soetrisno dan Ivan Tantowi yang ditangkap di Kamboja hingga seorang pria berinisial TCA asal Ciamis, Jawa Barat.
"Di sini pentingnya membaca data dan fakta sebelum memberikan penilaian supaya tidak menyesatkan publik dan menafikan kerja-kerja para pihak yang telah bersusah-payah memberantas judi online seperti Polri, Kementerian Kominfo, PPATK dan Kemenko Polhukam," kata Haidar Alwi, Selasa 16 Juli 2024.
Menurut Haidar Alwi, pemberantasan judi online terutama menangkap bandar besarnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, judi online yang beroperasi di Indonesia merupakan kejahatan lintas negara yang terorganisir dan dikendalikan dari luar negeri seperti China, Laos, Kamboja dan Myanmar.
"Di negara-negara tersebut, judi online adalah sesuatu yang legal dan tidak melanggar hukum. Sementara di Indonesia judi online termasuk dalam tindak pidana. Perbedaan hukum inilah yang kemudian membuat bandar besar judi online sulit ditangkap," jelas Haidar Alwi.
Kalaupun bandar besarnya adalah warga Indonesia yang berada di luar negeri, Polri tidak bisa serta-merta meminta bantuan aparat setempat untuk menangkap dan memulangkan pelaku. Pasalnya, untuk ekstradisi pun harus memenuhi syarat 'double criminality', yaitu di Indonesia kejahatan dan di negara lain juga kejahatan.
Apalagi kalau tidak ada kerjasama sama sekali. Baik bilateral maupun multilateral. Hukum Indonesia tidak bisa menjangkaunya.
"Makanya bandar-bandar besar itu adanya di luar negeri. Yang di Indonesia mayoritas korban dan operator, bandar besarnya sedikit. Ada yang sudah ditangkap dan ada yang belum. Untuk menangkapnya tidak bisa katanya-katanya, ada sekian nama si-A, si-B dan lain-lain. Perlu penyelidikan dan bukti yang kuat yang mengarah kepada bandar besar tersebut," pungkas Haidar Alwi.