Perilaku Anti Korupsi di Indonesia Turun, BPS Ungkap Indikatornya
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan, masyarakat Indonesia semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Hal ini tercermin dari Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada 2024 mencapai 3,85 atau turun 0,07 persen poin dibandingkan tahun lalu.
Adapun IPAK disusun berdasarkan indikator persepsi dan pengalaman masyarakat tentang pemahaman dan perilaku antikorupsi. Hasilnya terjadi penurunan indeks persepsi publik, komunitas, dan keluarga.
"Penurunan indeks persepsi publik dipengaruhi oleh menurunnya persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar perilaku korupsi di lingkungan publik. Ada 12 dari 14 indikator yang menunjukkan persepsi masyarakat semakin permisif," kata Plt Kepala BPS, Amalia A Widyasanti dalam konferensi pers Senin, 15 Juli 2024.
Amalia menjelaskan, terdapat empat indikator yang mengalami penurunan terbesar dibandingkan 2023. Pertama persepsi bahwa tidak wajar bagi guru, dosen, atau tenaga kependidikan membantu orang lain yang bukan anak kandungnya diterima masuk di sekolah atau kampus tempat dia bekerja mengalami penurunan sebesar 7,02 persen.
Kedua, persepsi bahwa tidak wajar bagi seorang calon pemilih menerima pembagian uang/barang/fasilitas pada penyelenggaraan Pilkades/Pilkada/Pemilu mengalami penurunan sebesar 4,69 persen. Ketiga persepsi bahwa tidak wajar bagi peserta Pilkades/Pilkada/Pemilu membagikan uang/barang/fasilitas ke calon pemilih mengalami penurunan sebesar 4,20 persen," jelasnya.
Kemudian keempat persepsi bahwa tidak wajar memberi uang/barang/fasilitas dalam proses penerimaan menjadi pegawai mengalami penurunan sebesar 2,25 persen poin.
Sedangkan penurunan indeks persepsi komunitas dipengaruhi oleh menurunnya presentase masyarakat yang menganggap tidak wajar perilaku korupsi di lingkup komunitas.
Amalia menyampaikan, tiga dari lima indikator menunjukkan bahwa persepsi masyarakat semkain permisif.. Tiga indikator yang mengalami penurnan dibandingkan tahun 2023 adalah sebanyak 83,94 persen.
Pertama, persepsi bahwa tidak wajar bagi kelompok atau lembaga masyarakat menerima bantuan, sumbangan, pemberian, atau hibah tanpa mempertanyakan asal-usulnya mengalami penurunan sebesar 1,96 persen poin.
Kedua persepsi bahwa tidak wajar bagi suatu keluarga memberi uang, barang, atau fasilitas yang lebih kepada pejabat atau perangkat daerah/desa ketika melaksanakan hajatan atau hari raya keagamaan mengalami penurunan sebesar 0,82 persen poin. Ketiga persepsi bahwa tidak wajar bagi pengurus RT/RW membantu calon kepala desa/kepala daerah/legislatif membagikan uang, barang, atau fasilitas kepada masyarakat agar dipilih mengalami penurunan sebesar 0,02 persen poin.
Lebih lanjut, untuk penurunan indeks persepsi keluarga Amalia mengatakan bahwa enam dari delapan indikator menunjukkan bahwa masyarakat semakin permisif.
"Sebanyak 71,89 persen menganggap tidak wajar terhadap sikap seseorang menerima uang tambahan dari pasangan tanpa mempertanyakan asal usul uang tersebut turun 3,60 persen poin dibandingkan tahun lalu," jelasnya.
Kemudian persepsi bahwa tidak wajar bagi seseorang memanfaatkan hubungan keluarga dalam seleksi penerimaan murid/ mahasiswa baru mengalami penurunan sebesar 3,38 persen poin. Serta persepsi bahwa tidak wajar bagi seseorang mengajak anggota keluarga dalam kampanye Pilkades/Pilkada/Pemilu demi mendapatkan lebih banyak imbalan mengalami penurunan sebesar 3,22 persen poin.
"Persepsi bahwa tidak wajar bagi seseorang menggunakan barang milik anggota keluarga tanpa seizin pemiliknya mengalami penurunan sebesar 3,05 persen poin," imbuhnya.