Bukan Cuma Pegi Setiawan, KontraS Beberkan Ada 15 Kasus Polisi Salah Tangkap dalam Setahun
- ANTARA/Rubby Jovan
Jakarta – Pegi Setiawan telah dinyatakan bebas dari status tersangka pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada tahun 2016. Keputusan ini diambil setelah Pengadilan Negeri (PN) Bandung mengabulkan permohonan gugatan sidang praperadilan yang diajukan oleh Pegi Setiawan. Dalam kasus ini, Pegi Setiawan merupakan korban salah tangkap dan berhak mendapatkan ganti rugi dari Polda Jawa Barat.
Bukan hanya Pegi Setiawan, ada 15 peristiwa salah tangkap yang dilakukan kepolisian selama satu tahun terakhir, periode Juli 2023-Juni 2024. Hal tersebut diungkapkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporannya yang dirilis pada 1 Juli 2024, tanggal tersebut juga merupakan perayaan Hari Bhayangkara ke-78.
KontraS mengungkapkan bahwa dalam 15 kali peristiwa salah tangkap yang dilakukan kepolisian, setidaknya 23 orang menjadi korban dan sembilan diantaranya mengalami luka-luka.
Selama setahun terakhir, KontraS mencatat ada 645 insiden kekerasan oleh anggota Polri dengan 759 korban yang terluka dan 38 orang meninggal. Selain itu, terdapat 35 kasus pembunuhan di luar hukum yang menyebabkan 37 kematian. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Menurut KontraS, setidaknya ada tiga penyebab yang mendorong tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi, termasuk kasus salah tangkap, yaitu warisan budaya kekerasan Orde Baru, kurangnya pengawasan dan akuntabilitas, serta ego sektoral antar lembaga penegakan hukum.
Kasus salah tangkap, seperti yang terjadi pada Pegi Setiawan, menunjukkan bahwa polisi tidak hati-hati dalam menjalankan tugasnya dan seringkali mengabaikan aturan seperti tidak memperhatikan aspek pengawasan yang tepat dalam penyidikan. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi Kepolisian.
KontraS juga mengkritik pemerintah dan DPR-RI dalam mengatasi masalah ini yang mana mereka justru menginisiasi revisi UU Kepolisian pada Mei 2024 secara tiba-tiba dan minim partisipasi publik.
Substansi RUU Polri dianggap mengandung pasal-pasal yang memperburuk masalah, menyebabkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, serta berpotensi mengakibatkan maladministrasi dan pelanggaran HAM.
Laporan KontraS ini bertujuan untuk memberikan kritik, saran, dan rekomendasi terhadap kinerja Polri dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Laporan ini juga merupakan partisipasi KontraS dalam Reformasi Sektor Keamanan, terutama reformasi Polri, sesuai dengan mandat reformasi guna mendorong Polri memperbaiki institusinya agar sesuai dengan standar HAM dan demokrasi.
KontraS meminta institusi Kepolisian melakukan perbaikan yang konkrit dan komprehensif, agar reformasi polisi yang dicita-citakan bukan hanya ilusi.