Seaplane Diuji Coba, Pengamat: Solusi Transportasi untuk Daerah Terpencil RI
- Baketrans Kemenhub
Jakarta – Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), Marcellus Hakeng Jayawibawa, menyoroti langkah Badan Kebijakan Transportasi (Baketrans) Kementerian Perhubungan yang baru-baru ini melakukan uji coba penerbangan seaplane atau pesawat amfibi di Pantai Mertasari, Denpasar, Bali
Menurut Hakeng, pengoperasian seaplane di pelabuhan yang kedepannya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) membuka peluang baru dalam bidang transportasi dan pariwisata di Indonesia.
“Seaplane, pesawat amfibi yang mampu lepas landas dan mendarat di permukaan air, menawarkan solusi transportasi yang unik dan efisien, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau melalui jalur darat atau laut,” kata Hakeng, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.
Namun, Hakeng juga menyoroti bahwa untuk implementasi layanan seaplane ini memerlukan antisipasi yang matang untuk menghindari konflik kewenangan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU).
“Dari itu dibutuhkan kolaborasi yang erat antara DJPL dan DJPU. Harus ada kerangka regulasi yang jelas serta pelatihan dan persiapan infrastruktur yang memadai, dimana hal tersebut akan menjadi kunci untuk memastikan operasional yang aman dan efisien,” tutur Hakeng.
Perbedaan tanggung jawab antara DJPL dan DJPU, menurut Hakeng, berpotensi menimbulkan konflik kewenangan. DJPL bertanggung jawab atas pengelolaan pelabuhan dan kegiatan maritim, sementara DJPU mengatur penerbangan sipil dan operasional bandara.
“Jadi ketika seaplane mulai beroperasi di pelabuhan yang dikelola oleh DJPL, DJPU mungkin menganggap ini sebagai bagian dari regulasi penerbangan,” jelas Hakeng.
Oleh karena itu, tambah Hakeng, penting untuk memiliki kerangka regulasi yang jelas yang menetapkan batasan kewenangan masing-masing direktorat dalam mengelola operasional seaplane. Regulasi ini harus mencakup aspek keselamatan, prosedur operasional, dan tanggung jawab pengawasan.
“Kolaborasi antara DJPL dan DJPU sangat penting untuk mengatasi potensi konflik kewenangan. Kedua direktorat harus bekerja sama dalam merencanakan dan mengimplementasikan layanan seaplane,” ujar Hakeng.
Ketua Bidang Penataan Jaringan dan Distribusi Kader Pengurus Pusat Pemuda Katolik ini juga mengingatkan bahwa dengan langkah-langkah strategis tersebut, potensi tumpang tindih kewenangan antara DJPL dan DJPU dapat diminimalisir.
Kolaborasi yang erat, kerangka regulasi yang jelas, serta pelatihan dan persiapan infrastruktur yang memadai akan memastikan bahwa manfaat ekonomi dan sosial dari layanan seaplane dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan keselamatan dan efisiensi operasional.
Menurut pengamat maritim yang dikenal kritis ini, bandar udara darat dan perairan memiliki karakteristik yang sangat berbeda dalam hal struktur dan fasilitas penunjang.
“Landasan pacu di bandar udara darat dibangun dari material keras seperti aspal atau beton, dirancang untuk menahan beban berat pesawat dan memberikan permukaan yang stabil dan rata,” ujar Hakeng.
Sebaliknya, sambung Hakeng, bandar udara perairan menggunakan air sebagai permukaan operasinya, yang memiliki sifat fisik yang berbeda, termasuk dinamika gelombang, pasang surut, dan variasi ketinggian air. “Hal ini menuntut desain pelampung atau hull pesawat yang berbeda agar dapat beroperasi dengan aman di permukaan air,” jelasnya.
Selain perbedaan dalam struktur landasan, fasilitas penunjang juga sangat berbeda antara bandar udara darat dan perairan. Bandar udara darat biasanya dilengkapi dengan taxiways, aprons, hangar, dan terminal penumpang, sementara bandar udara perairan lebih memerlukan pelabuhan atau dermaga, fasilitas tambatan, serta penanganan khusus untuk operasi perawatan pesawat di atas air.
“Perbedaan ini menunjukkan bahwa standar desain dan konstruksi yang digunakan untuk bandar udara darat tidak dapat diterapkan secara langsung pada bandar udara perairan tanpa modifikasi yang sesuai,” tegas Hakeng.
Meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam desain dan operasional, lanjut Hakeng, salah satu kriteria sertifikasi mendasar adalah bahwa semua bandar udara, baik darat maupun air, harus memiliki Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) yang sesuai. “SMS mencakup kebijakan keselamatan, pengelolaan risiko dan jaminan keselamatan”.
Penerapan SMS yang konsisten dan komprehensif sangat penting untuk memastikan keselamatan operasional di kedua jenis bandar udara. Kebijakan keselamatan harus menetapkan standar yang harus dipatuhi, sementara pengelolaan risiko melibatkan identifikasi dan mitigasi risiko yang terkait dengan operasi spesifik masing-masing jenis bandar udara,” tutur Hakeng.
Implementasi SMS pada bandar udara darat melibatkan pengelolaan risiko yang terkait dengan operasi darat, seperti tabrakan pesawat dan kondisi landasan pacu. Di sisi lain, implementasi SMS pada bandar udara perairan harus mengidentifikasi dan mitigasi risiko yang terkait dengan operasi di air, seperti kondisi cuaca ekstrem, dinamika gelombang, dan interaksi dengan aktivitas maritim.
“Maka pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan keselamatan khusus untuk lingkungan perairan juga diperlukan, bersama dengan pelatihan dan pendidikan bagi personel terkait keselamatan operasi di air, termasuk penanganan situasi darurat di atas air,” pungkas Hakeng.