Calon Anggota BPK RI Disarankan dari Kalangan Profesional
Jakarta - Politisi muda Partai Golkar, Riko Lesiangi memberikan penilaian khusus terhadap calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang berasal jalur partai politik. Menurut dia, kelemahan sistemik merupakan bawaan dari masa lalu yang harus diperbaiki karena mengakibatkan sering terjadinya praktik korupsi.
Maka dari itu, Riko mengusulkan agar calon BPK RI periode 2024-2029 dari kalangan profesional. Sebab, kata dia, BPK merupakan salah satu lembaga tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara.
“Saatnya memberikan kesempatan kalangan profesional bukan calon via partai politik, supaya mampu berpegang teguh 3 prinsip yaitu independensi, integritas dan profesionalisme,” kata Riko melalui keterangannya pada Rabu, 19 Juni 2024.
Kata Riko, proses seleksi atau perekrutan Anggota BPK telah diatur dalam Undang-Undang BPK. Pada Pasal 28 (d) UU BPK disebutkan, kata Riko, bahwa Anggota BPK dilarang merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing.
“Pasal 28 (e) UU BPK menyatakan, anggota BPK dilarang menjadi anggota partai politik. Persyaratan calon Anggota BPK RI masih bersifat normatif, tebal kepentingan politik,” ujarnya.
Ia menambahkan penyusunan laporan keuangan memerlukan perjuangan ekstra, kelemahan dalam sistem dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) hanya menambah masalah demi kepentingan politik, baik legislatif maupun eksekutif yang cenderung didominasi oleh kader partai politik.
“BPK lembaga yang diberi mandat konstitusi untuk memeriksa keuangan negara ini harus diisi oleh orang-orang yang mumpuni dan berpengalaman. Selain itu, calon Anggota BPK wajib memiliki nilai kredibel, kompeten, integritas tinggi dan bebas dari keterikatan partai politik, serta profesional di bidang audit keuangan,” jelas dia.
Ia memberikan contoh, di beberapa negara maju untuk menentukan anggota (National Audit) diperlukan (Public Account Commite), turut menentukan dan penilaian dalam hal kompetensi dan integritas. “Bukan hal mudah menyajikan laporan keuangan negara ke ruang publik secara akuntabel harus sesuai standar akuntansi pemerintahan (SAP),” pungkasnya.
Diketahui, Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI 2019-2024 Achsanul Qosasi telah didakwa menerima suap atau pemerasan sebanyak Rp 40 miliar terkait dengan kasus dugaan korupsi penyediaan menara Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo.
Achsanul diketahui menjadi pihak ketiga yang menerima uang itu. Pasalnya, uang Rp40 miliar itu diberikan oleh Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama dengan sumber uang dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan.
Kemudian, uang tersebut diberikan ke Achsanul karena telah mendapatkan perintah dari Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif. Ketiga nama itu saat ini juga menjadi terdakwa kasus BTS Kominfo.
"Terdakwa Achsanul Qosasi memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, yaitu berupa uang tunai sebesar US$2.640.000 atau sebesar Rp40.000.000.000," ujar jaksa penuntut umum di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat pada Kamis, 7 Maret 2024.