Kewenangan Kejaksaan Tangani Tipikor Dinilai Tumpang Tindih, Timbulkan Kebingungan

Gedung Kejaksaan Agung
Sumber :
  • VIVA/Zendy Pradana

Jakarta - Selain menimbulkan tumpang tindih, kewenangan Kejaksaan dalam menangani kasus Tipikor juga dinilai memunculkan sejumlah masalah baru.

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM, Andri Sutrisno, mengungkapkan bahwa di banyak negara, termasuk Indonesia, keberadaan Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam penanganan kasus Tipikor.

“Kejaksaan merupakan suatu lembaga yang memiliki kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan negara terkait bidang penuntutan,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Senin 10 Juni 2024.

Gedung Kejaksaan Agung.

Photo :
  • VIVAnews/Maryadi

Andri menyebutkan, kewenangan Kejaksaan dalam menangani Tipikor di Indonesia tertuang dalam berbagai undang-undang dan peraturan, antara lain Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Namun dalam hal ini perlu diketahui bahwa ada kewenangan yang sama antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani tindak pidana korupsi dapat mengakibatkan beberapa hal, (yakni) tumpang tindih kewenangan, koordinasi yang lebih rumit, persaingan dan konflik antar lembaga, potensi ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum serta adanya beban administratif kedua lembaga tersebut,” ujarnya.

Beberapa masalah tersebut, menurut Andri, misalnya saja terjadi dalam penanganan kasus proyek pembangunan wisma atlet di Palembang untuk SEA Games 2011.

Andri mengatakan, Kejaksaan telah memulai penyelidikan terhadap beberapa kontraktor terkait, sementara KPK menyelidiki pejabat tinggi yang terlibat.

KPK kemudian menangani kasus ini lebih lanjut, termasuk menuntut beberapa pejabat tinggi, seperti Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat.

“Tumpang tindih ini menimbulkan kebingungan mengenai pembagian tugas dan yurisdiksi antara kedua lembaga tersebut. Selain hal tersebut, dengan adanya kewenangan yang sama dapat memicu persaingan atau konflik antar lembaga. Hal ini bisa mengganggu kerja sama yang seharusnya terjadi dalam pemberantasan korupsi dan menurunkan efektivitas penegakan hukum,” kata Andri.

Di samping itu, Andri menilai, pengawasan terhadap kewenangan dan kinerja Kejaksaan tidak berjalan secara optimal dan maksimal.

Padahal, menurut Andri, ada Komisi Kejaksaan atau Komjak Republik Indonesia (KKRI) yang bertugas melakukan pengawasan tersebut.

“Sebenarnya Kejaksaan diawasi KKRI, namun perlu ditanyakan independensinya selama ini. Komjak tidak berfungsi secara semestinya,” ungkapnya.

Selain berbicara kewenangan, Andri menyampaikan, Kejaksaan sendiri memang sering mendapatkan berbagai kritik dari masyarakat, media dan organisasi non-pemerintah atau NGO yang mengarah pada kurangnya transparansi dan independensi dalam penanganan kasus tertentu.

“Misalnya, penanganan kasus korupsi yang lamban atau terkesan tebang pilih dapat mengindikasikan adanya pengaruh politik. Karena kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat atau tokoh politik dapat menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk menekan atau mempengaruhi proses hukum. Misalnya, penanganan kasus yang melibatkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi atau kasus-kasus lainnya yang memiliki muatan politik yang sangat kuat,” ujarnya.

Ilustrasi korupsi/pungli.

Photo :
  • Istimewa

Untuk itu ke depannya, Andri berharap, kewenangan yang dimiliki Kejaksaan saat ini sebaiknya tetap diawasi dan dikontrol dengan ketat untuk memastikan transparansi, akuntabilitas dan integritas dalam menjalankan tugasnya.

“Supervisi dari KPK dan Polri memang bisa menjadi salah satu cara untuk memastikan pengawasan yang lebih ketat, namun ini harus dilakukan dengan jelas dan transparan untuk menghindari potensi konflik kepentingan dan menjaga independensi masing-masing lembaga,” katanya.