RI Perlu Berdiri Teguh, Tidak Berkompromi dengan Vietnam

Ilustrasi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo
Sumber :
  • Pemprov Jabar

VIVA Nasional – Sejak penandatanganan Persetujuan Batas Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE) RI-Vietnam pada 22 Desember 2022, Presiden Jokowi aktif mempromosikan persetujuan tersebut agar menjalani proses ratifikasi  DPR dan kemudian resmi berlaku. Beliau berharap persetujuan ini dapat menjadi salah satu kinerja besar selama masa jabatannya.

RI dan Vietnam sedang menyusun dan memperbaiki Pengaturan Pelaksana agar mendefinisikan dengan jelas hak dan kewajiban spesifik kedua belah pihak.

Hingga Mei 2024, RI dan Vietnam telah menyelenggarakan 3 kali pertemuan teknis untuk membahas teks (Pengaturan Pelaksana) mengenai wilayah tumpang tindih yurisdiksi ZEE dan landas kontinen RI-Vietnam. 

Namun sampai saat ini kedua belah pihak masih memiliki perbedaan besar mengenai ketentuan spesifik pengaturan tersebut.

Illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing yang dilakukan kapal ikan Vietnam di Laut China Selatan (LCS) selalu menjadi bahaya tersembunyi terbesar terhadap keamanan maritim di LCS. Di antaranya, konflik perikanan dengan RI paling intens.

Meskipun RI dan Vietnam telah menandatangani Persetujuan Batas ZEE, penangkapan ikan dari kapal nelayan Vietnam masih umum terjadi di beberapa perairan RI yang kaya akan sumber daya alam. Menurut data Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sebanyak 28 kapal asing berbendera Vietnam yang melakukan illegal fishing dideteksi di Laut Natuna Utara pada triwulan I 2024.

"Ada tiga negara asal kapal ikan asing yang kerap masuk ke wilayah  perairan RI untuk menangkap ikan secara ilegal, salah satunya berbendera  Vietnam. Kapal ikan Vietnam biasanya masuk melalui LCS," kata Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono, Selasa 12 Desember 2024.

Selama bertahun-tahun, pemerintah Vietnam terus menyesuaikan  perencanan perikanan kelautannya dan fokus pada mengembangkan perikanan lepas pantai dengan mendukung nelayan dalam membangun  kapal penangkap ikan berukuran besar, memberikan subsidi bahan bakar dan pinjaman jangka panjang kepada nelayan. 

Kebijakan Vietnam terkait  perikanan mendorong kegiatan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan  oleh nelayan Vietnam.

"Adanya subsidi dan pinjaman kredit dengan bunga murah itu,  lanjutnya, memberikan kemudahan bagi para nelayan Vietnam untuk  membuat kapal-kapal berukuran besar, sehingga mereka bisa pergi  menangkap ikan hingga ke tengah lautan. Oleh sebab itu, kerap kali  ditemukan penangkapan ikan illegal dari Vitenam yang masuk ke perairan RI," kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, Jumat 8 Maret 2024.

Dalam proses perundingan, Indonesia berkali-kali mengusulkan menambahkan konten kerja sama pemberantasan IUU Fishing di wilayah  tumpang tindih yurisdiksi dalam Pengaturan Pelaksana, namun ditolak Vietnam dengan alasan IUU Fishing bukan merupakan bidang kerja sama utama.

Dari hal tersebut, dapat terlihat Vietnam tidak berniat memberantas kegiatan IUU Fishing yang dilaksanakan nelayannya, dan  hal ini juga menunjukkan ketiadaan iktikad baik dan ketiadaan semangat kerja sama atas proses perundingan.

Mengenai kewajiban terkait perlindungan lingkungan laut, Vietnam bersikap ambigu dan berupaya memberikan ruang bagi kegiatan ilegalnya. 

Misalnya, RI berharap Pengaturan Pelaksana dapat memperjelaskan kewajiban kedua belak pihak untuk melindungi dan menjaga lingkungan laut, namun Vietnam menganggap usulan RI ini berpotensi melampaui cakupan UNCLOS, maka tidak bersedia  memasukkan usulan tersebut ke dalam Pengaturan Pelaksana.

Selain itu, Frame-trawl Fisheriers yang diusulkan oleh Vietnam untuk menangkap sedentary species masih memiliki risiko kerusakan lingkungan laut. Karena metode ini merupakan metode tangkap dominan 
yang digunakan nelayan Vietnam untuk menangkap teripang dan kerangkerangan, yang berarti Frame-trawl Fisheriers ini mirip dengan bottom trawl. 

Bottom trawl adalah metode penangkapan ikan yang secara tegas dilarang di Indonesia dan akan berdampak buruk terhadap keanekaragaman kehidupan akuatik.

Menurut laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 15 Desember 2023, industri perikanan Vietnam, khususnya penangkapan ikan yang menggunakan bottom trawl, telah merusak lingkungan laut secara serius.

Meskipun upaya penangkapan ikan  meningkat, hasil tangkapan mengalami stagnasi sejak tahun 1990an, stok 
ikan secara keseluruhan di LCS hampir habis. Pada 4 Mei 2024, kapal patrol Orca 02 milik KKP menangkap dua kapal trawl Vietnam di Laut Natuna Utara. Sebanyak 15 awak kapal asing ditangkap dan 15 ton ikan ilegal disita.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pung Nugroho Saksono, di Batam, mengatakan bahwa penangkapan tersebut berawal dari aduan  nelayan Natuna Utara yang resah, dan dua kapal Vietnam itu telah ditarik ke pangkalan PSDKP Batam untuk disidik.

"Kapal ini sudah meresahkan nelayan lokal. Penggunaan trawl (pukat harimau) merusak terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi  jauh lebih besar daripada kerugian ekonomi, " kata Pung Nugroho.

"Kenapa nelayan dari negara lain mencuri ikan di laut kita, sebab laut  mereka sudah hancur dan tidak ada ikan karena ulah kapal-kapal menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti trawl itu, " tambah Pung Nugroho.

Jika Vietnam melakukan penangkapan ikan secara destruktif di wilayah tumpang tindih, bahkan di ZEE RI, maka RI akan menjadi pihak pertama yang menanggung dampak terbesarnya. RI harus berdiri teguh dan tidak berkompromi dengan tuntutan Vietnam yang tidak masuk akal.