Dewan Pers Tolak Mentah-mentah RUU Penyiaran, Ini Alasannya

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.
Sumber :
  • dok. Istimewa

Jakarta – Dewan Pers menolak draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang digodok di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dewan Pers menilai, beberapa substantif draf RUU Penyiaran ini sangat bertentangan dengan kebebasan pers.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menegaskan, pihaknya mengkritisi RUU Penyiaran ini karena ada pasal yang memberikan larangan pada media untuk melakukan investigasi. Hal tersebut, kata dia, sangat bertentangan dengan yang ada di Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4. 

"Karena kita sebetulnya dengan undang-undang 40 tidak lagi mengenal penyensoran , pembredelan dan  pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Nah penyiaran media investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional," ujar Ninik Rahayu di gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Selasa, 14 Mei 2024. 

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kanan).

Photo :
  • ANTARA/Juraidi

Ninik kemudian menjelaskan alasan pihaknya menolak draf RUU itu karena tidak dimasukkannya Undang-Undang 40 tahun 1999 tentang Pers dalam pertimbangan draf tersebut.

"(Ini) mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," kata Ninik.

Alasan kedua, lanjut Ninik, Dewan Pers menolak karena RUU Penyiaran ini akan menyebabkan insan pers di Indonesia tak merdeka, tak independen, dan tidak dapat melahirkan karya jurnalistik berkualitas.

"Dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers kita menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional, dan pers yang tidak independen," jelasnya.

Kemudian, Ninik menilai draf RUU itu juga menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII Tahun 2020. Sebab, putusan tersebut mengatur bahwa penyusunan sebuah regulasi harus meaningful participation. 

Sebab, Dewan Pers dan konstituen pers lainnya tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini. Menurutnya, harus ada keterlibatan masyarakat. Hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya. 

"Dan nanti kalau masukan-masukan masyarakat itu tidak diintegrasikan bahkan para penyusun kebijakan diminta untuk menjelaskan kenapa masukan-masukan itu tidak diintegrasikan," jelas Ninik.

Kendati demikian, Dewan Pers tetap menghormati DPR RI maupun pemerintah yang memang memiliki kewenangan secara konstitusional untuk menyusun sebuah regulasi, terutama yang berkaitan dengan persoalan pemberitaan, pers, baik itu melalui cetak, elektronik, dan lainnya. 

"Meskipun demikian, terhadap draf RUU penyiaran versi Oktober 2023. Dewan Pers dan konstituen menolak sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.

Ilustrasi wartawan atau pers.

Photo :
  • Pixabay

Diketahui, salah satu ketentuan dalam UU Penyiaran yang jadi sorotan publik adalah larangan penayangan eksklusif jurnalistik atau jurnalisme investigatif.

Ketentuan tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 50B ayat 2 butir c dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang menyatakan larangan penayangan eksklusif jurnalistik Investigatif.