Kisah Jenderal Soemitro, dari Ramalan Boneka Jailangkung Jadi Tentara Kesayangan Soeharto
- Youtube
Jakarta – Jenderal TNI (Purn) Soemitro Sastrodihardjo, yang dikenal sebagai salah satu panglima militer paling berpengaruh di era Orde Baru, memiliki kisah masa kecil yang unik dan inspiratif. Lahir di Sebaung, Gending, Probolinggo, pada 13 Januari 1927, Soemitro kecil memiliki cita-cita menjadi seorang insinyur. Namun, takdir membawanya ke jalan lain yang tak terduga.
Pada suatu malam, Soemitro dan teman-temannya di asrama bermain boneka jailangkung. Saat itu, Soemitro yang berusia 15 tahun bertanya kepada boneka tentang masa depannya. Jawaban yang muncul dari boneka tersebut sungguh tak terduga, yakni "MAJOR".
Melansir dari berbagai sumber, Jumat, 10 Mei 2024, Awalnya, Soemitro dan teman-temannya hanya menertawakan jawaban tersebut. Namun, seiring waktu, ramalan boneka jailangkung itu perlahan menjadi kenyataan. Soemitro tidak jadi insinyur seperti yang diimpikannya, melainkan memilih jalur militer dan berhasil mencapai pangkat jenderal.
Soemitro muda bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) saat masa penjajahan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, dia aktif dalam perjuangan melawan Belanda dan menjadi salah satu komandan gerilya di Kalimantan.
Karier Soemitro semakin cemerlang setelah Orde Baru berkuasa. Dia menjadi Panglima Kodam VI/Mulawarman (Kalimantan Timur) dan kemudian menduduki berbagai posisi penting di militer, termasuk Panglima Komando Operasi Tertinggi (KOTI) dan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Soemitro dikenal sebagai prajurit yang cerdas, berani, dan loyal. Kemampuannya dalam memimpin dan strategi militer membuatnya mendapatkan kepercayaan dari banyak petinggi TNI, termasuk Presiden Soeharto.
Soeharto dan Soemitro memiliki hubungan yang sangat dekat. Keduanya memiliki visi yang sama untuk membangun Indonesia yang kuat dan stabil. Soemitro menjadi salah satu orang kepercayaan Soeharto dan memainkan peran penting dalam berbagai peristiwa penting di era Orde Baru.
Soemitro diangkat menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan Tertinggi (Kopkamtib) pada tahun 1973. Di bawah kepemimpinannya, Kopkamtib memiliki peran sentral dalam pemberantasan Gerakan 30 September (G30S) dan penumpasan berbagai aksi pemberontakan. Soemitro juga berperan penting dalam konsolidasi kekuasaan Soeharto dan pemancangan fondasi Orde Baru.
Soemitro juga tidak luput dari kontroversi. Dia dikaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran HAM, termasuk Peristiwa Tanjung Priok dan Tragedi Semanggi.
Meskipun begitu, Soemitro tetap menjadi salah satu tokoh militer paling berpengaruh di Indonesia. Dia pensiun dari militer pada tahun 1988 dan wafat pada 10 Mei 1998, meninggal akibat stroke dan dimakamkan di TMP Kalibata.