Megawati Ajukan Amicus Curiae ke MK, Pakar Hukum: Upaya Intervensi Peradilan

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Fahri Bachmid
Sumber :
  • Dok. Istimewa

Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid berpendapat terkait upaya berbagai pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan termasuk Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melalui Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Hal itu dinilai sebagai bentuk intervensi terhadap peradilan.

Menurutnya, Megawati telah mengajukan diri menjadi amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan menyampaikan pemikiran atau pendapatnya atas perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 yang sedang ditangani MK saat ini merupakan hanya kedok belaka.

“Terkait dengan fenomena beberapa pihak mencoba untuk mengajukan dirinya sebagai amicus curiae di penghujung sidang pada saat Majelis Hakim MK telah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk membuat putusan MK menurut hemat saya adalah bentuk lain dari sikap intervensi sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK, yang dibingkai dalam format hukum atau pranata amicus curiae,” kata Fahri, Kamis 18 April 2024.

Wakil Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran Fahri Bachmid (tengah) berbicara di hadapan awak media di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 25 Maret 2024.

Photo :
  • ANTARA/Nadia Putri Rahmani

Fahri berpendapat bahwa secara terminologi hukum serta praktik lembaga peradilan umum, sesungguhnya ini adalah amicus curiae dari aspek fungsi sejatinya sebagai pihak atau elemen yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

“Keterlibatan pihak atau elemen yang berkepentingan dalam sebuah perkara tersebut hanya sebatas memberikan opini, dan praktik penggunaan pranata amicus curiae secara generik biasanya digunakan pada negara-negara yang menggunakan sistem hukum common law,” ungkapnya.

“Tidak terlalu umum digunakan pada negara-negara dengan sistem hukum civil law system termasuk Indonesia, akan tetapi pada hakikatnya praktik seperti ini tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita,” tambahnya.

Fahri menjelaskan bahwa secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan secara praksis hukum, sesungguhnya praktik "amicus curiae" lebih condong dipraktikan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,” jelasnya.

Lebih lanjut Fahri mengatakan pada dasarnya hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa PHPU pilpres, sandarannya adalah konstitusi serta fakta-fakta hukum yang secara terang benderang telah terungkap di dalam persidangan yang digelar secara terbuka untuk umum.

Fahri menilai pengajuan amicus curiae terdapat konflik kepentingan untuk mempengaruhi hakim dan berusaha untuk ambil bagian untuk memenangkan perkara di MK.

“MK tidak memutus suatu perkara konstitusi berdasarkan opini atau pendapat yang dikemas dalam bingkai amicus curiae yang tentunya pihak-pihak yang mengajukan dirinya sebagai friends of the court itu mempunyai conflict of interest secara subjektif terhadap perkara itu sendiri,” ucapnya.

“Pihak-pihak ini tentunya mempunyai maksud agar memenangkan perkara, yang sifatnya kongkrit dengan mencoba menggunakan sarana hukum tersamar amicus curiae atau bentuk lain dari intervensi yang sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK,” tambahnya.

Sidang Perselisihan Hasil Pilpres 2024 di MK.

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Fahri berpendapat hakim MK sedang dalam masa krusial untuk memutuskan perkara yang akan dibacakan beberapa hari ke depan ini, sehingga banyak pihak yang berusaha mengintervensi salah satunya dengan mengajukan diri menjadi amicus curiae.

“Kami berpendapat bahwa saat ini adalah fase yang sangat krusial, di mana para hakim MK sedang melaksanakan rapat permusyawaratan hakim sehingga biarlah para hakim memutus perkara a quo secara objektif, dengan mengedepankan prinsip imparsialitas, not supporting any of the sides involved in an argument,” bebernya.

“Sebab pada prinsipnya hakim telah diperkaya dengan fakta dan alat bukti yang secara terang benderang telah terungkap dalam persidangan, kami harapkan MK sejauh mungkin menghindarkan diri dari fenomena kontemporer amicus curiae ini,” tutup Fahri Bachmid.