Kasus Perundungan SMA Binus BSD, Polisi Ungkap 1 Pelaku ABH Melanggar Kesusilaan
- VIVA.co.id/Sherly (Tangerang)
Tangerang Selatan – Satu pelaku yang berstatus anak berhadapan atau berkonflik dengan hukum (ABH) dikenakan pasal terkait tindak kekerasaan dan atau melanggar kesusilaan, dalam kasus perundungan di SMA Binus Internasional BSD, Serpong, Kota Tangerang Selatan.
Kasat Reskrim Polres Tangsel, AKP Alvino mengatakan, berdasarkan hasil gelar perkara, pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi, serta anak saksi. Pihaknya mendapatkan fakta-fakta dalam aksi perundungan itu.
Salah satunya, melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur dan atau tindak pidana melanggar kesusilaan terhadap anak korban.
"Dari 8 ABH, 7 dikenakan melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur atau pengeroyokan. Sementara, satu lainnya melakukan tindak pidana melanggar kesusilaan terhadap anak korban dan atau pengeroyokan," katanya.
Dalam kasus ini, untuk ABH yang melakukan tindak kesusilaan dikenakan Pasal 76C Jo Pasal 80 UU RI Nomor 35 tahun 2014 atas perubahan kedua UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 4 ayat (2) huruf d Jo Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau Pasal 170 KUHP.
Atau, Tindak pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Jo Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4 ayat (2) huruf d Jo Pasal 5 UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
"Satu anak pelaku dikenakan TPKS, yakni setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan atau kesusilaanya, maka ancaman hukuman penjara paling lama 9 bulan," ujarnya.
Pada kasus ini, KementerianPPPA pun, tengah mengupayakan penyelesaian kasus melalui proses diversi. Hal ini mengacu kepada undang-undang perlindungan anak.
Diketahui, perundungan itu terjadi sejak 2 Februari 2024 lalu lantaran adanya tradisi tidak tertulis sebuah kelompok. Atas kejadian ini, korban pun mengalami luka dan trauma berat.