Guru Besar Paramadina: Bansos Bagian dari Konstruksi Politik Otoritarian
- ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Jakarta – Guru Besar Universitas Paramadina, Didin S Damanhuri menilai, bansos yang saat ini digelontorkan Pemerintah merupakan instrumen pemenangan politik atau bagian dari konstruksi politik otoritarian. Hal ini karena pembagian bansos tidak didukung angka kemiskinan yang mengalami penurunan.
Didin mengatakan, anggaran bansos 2024 tercatat mencapai Rp 500 triliun atau Rp 496 triliun, dan menjadi anggaran terbesar selama reformasi. Anggaran ini juga bertambah Rp 20 triliun, dari tahun 2022 yang sebesar Rp 476 triliun.
"Penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp 500 triliun dan terbesar selama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan," ujar Didin dalam resume diskusi bansos Kamis, 8 Februari 2024.
Sehingga menurutnya, bansos yang digelontorkan secara besar-besaran harus diiringi dengan indikasi kemiskinan kembali meningkat. Namun, menurut Didin hal itu tidak demikian, sebab angka kemiskinan di RI tercatat menurun.
Adapun berdasarkan data rilis terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 tercatat menurun dibandingkan September 2022. Persentasenya sebesar 9,36 persen atau mencapai 25,9 juta orang.
"Nyatanya kemiskinan sudah agak menurun. Dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024," tegasnya.
Selain itu, Didin menyoroti soal bansos yang tidak melibatkan Menteri Sosial, Tri Rismaharini. Pasalnya, bansos yang dibagikan saat ini langsung diberikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Padahal kuasa pemegang anggaran Menteri Sosial yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Bahkan tidak mendampingi Jokowi ketika bansos dibagikan. Itu memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres," jelasnya.
Didin menuturkan, berdasarkan analisanya dalam tinjauan ekonomi politik pada 5 tahun terakhir, ada gejala Indonesia sedang ada dalam fase neo otoritarianism.
Dia mencontohkan, pada era Soekarno dimainkan isu Nasakom dengan perimbangan kekuasaan antara TNI-AD vs PKI. Dan kemudian Soekarno menciptakan suatu ekosistem hingga MPR ketika itu memutuskan sebagai presiden seumur hidup meski dengan dekrit Soekarno sendiri.
Kemudian era Soeharto, dimana diciptakan partai pelopor agar proses pembangunan ekonomi berlanjut dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik.
"Jadi, bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik otoritarian," jelasnya.