Media dan Pemerintah Sepakat soal AI, Dirjen IKP: Perlu Pengaturan Komprehensif
- VIVA/Misrohatun Hasanah
Jakarta – Berkembangnya Artificial Intelligence (AI) bisa menjadi pisau bermata dua dalam era digital seperti sekarang. AI bisa menjadi kawan ataupu lawan dari media massa di tengah distrupsi digital saat ini.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong menyadari perlunya peraturan perundangan yang mengikat secara komprehensif untuk mengatur hal ini agar tidak merugikan media massa nasional.
"Kita berharap seperti di Uni Eropa. Di Uni Eropa itu punya UU yang komprehensif mengatur AI dari sisi hak ciptanya, dari sisi pornografi, deep fake-nya dan segala sisi. Seperti Omnibus Law-nya AI," kata Usman dalam acara Forum Diskusi Media: AI dan Keberlanjutan Media yang dikutip Kamis, 1 Februari 2024.
Usman Kansong juga menegaskan tentang perlunya perlindungan media-media lokal dari begitu kuatnya dominasi raksasa teknologi global, khususnya tekait hakcipta dan kepemilikan. Ini termasuk penerapan hak cipta yang mencakup hak moral dan hak ekonomi.
“Sementara karya jurnalistik yang dihasilkan oleh media diperoleh dengan biaya. Ini problem. Dalam dunia media dan ilmiah, kita mengutip satu sumber dan kita sebutkan, maka tidak bisa menuntut itu. Dan problem ini sebetulnya terjadi pada platform digital juga dalam hubungannya dengan media,” ujar Usman yang juga seorang jurnalis.
Menkominfo Budi Arie Setiadi telah melakukan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial pada tanggal 19 Desember 2023.
Edaran itu memuat tiga kebijakan yaitu nilai etika, pelaksanaan nilai etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial bagi perusahaan atau organisasi.
“Yang paling penting prinsipnya adalah akuntabilitas dan human centered artinya berpusat kepada manusia, karena ada kekhawatiran AI ini akan membunuh peradaban manusia," ungkap Usman
Namun Dia menyatakan keberadaan Surat Edaran tidak cukup untuk mengatur pemanfaatan teknologi AI karena perkembangan begitu cepat.
“Surat Edaran adalah panduan etis tidak bersifat memaksa, tidak ada hukuman, dan bersifat sukarela. SE hanya merupakan soft regulation dan bukan rule of law,” ungkapnya.
“Saya mengajak insan pers untuk mendorong kehadiran regulasi yang lebih komprehensif. Lewat diskusi-diskusi seperti ini, bisa melahirkan rekomendasi yang bisa diserahkan kepada Menkominfo sebagai leading sector di bidang digital," ungkapnya.
Sementara itu narasumber yang hadir pada diskusi tersebut, salah satu pimpinan Media Massa, Dahlan Dahi sepemahaman terkait human Centered yang diungkapkan Dirjen IKP, jika AI sepenuhnya menggantikan peran wartawan, maka hal tersebut bakal memberikan sejumlah dampak.
"Apa yang bangsa ini kehilangan kalau wartawan atau media tidak ada? Kalau media yang kredibel tidak ada?", Jelasnya.
"Menurut saya bangsa ini akan kehilangan pembanding atau fungsi klarifikasi informasi. Karena semua orang bisa mencari, menulis, dan melaporkan informasi," sambungnya.
Dahlan mendukung pemerintah harus membuat regulasi agar pemanfaatan AI dapat dirasakan manfaatnya oleh publik.
"Kalau puncak daripada internet adalah Google, Facebook, dan Tiktok. AI sedang memulai dan ini big player-nya adalah Microsoft. Mari kita atur dari sekarang sebelum dia terlalu kuat untuk kita atur seperti Google dan Facebook hari ini," ujar Dahlan.
Peneliti media Agus Sudibyo juga mengingatkan tentang keberadaan raksasa digital yang menjadi pelaku utama berkembangnya AI. Dia juga mengingatkan betapa berbahayanya kondisi ini.
"Kalau kita lihat dari sisi kritis ini jelas sekali fenomena kapitalisme, kapitalisme digital, kapitalisme pengawasan," kata Agus.