Penetapan Tersangka Firli Bahuri Dinilai Cacat Hukum
- ANTARA/Ilham Kausar
Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Pancasila (UP), Prof Agus Surono, mengungkapkan bahwa penetapan tersangka terhadap Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri tidak dilakukan dengan kehati-hatian atau prudent, sehingga tidak memenuhi proses hukum yang adil atau due process of law.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 17 jo Pasal 21 ayat (1) KUHAP, dalam proses penyidikan suatu perkara pidana haruslah dilakukan secara prudent (kehati-hatian), yang sangat penting sebagai wujud dari implementasi asas due proses of law dalam penegakan hukum perkara pidana,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat 15 Desember 2023.
Menurut Agus, penyidik Polda Metro Jaya tidak hati-hati pada proses penyelidikan kasus Firli Bahuri, terutama dalam mencari bukti permulaan yang cukup sebelum meningkatkan penyelidikan ke tahap penyidikan, dan menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka.
“Sebelum melakukan proses penyidikan dalam perkara pidana, harus didahului dengan proses penyelidikan terlebih dahulu untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagai wujud due process of law,” ujarnya.
Agus mengatakan, karena proses penyelidikan dan juga penyidikan terhadap Firli Bahuri tidak dilakukan sesuai asas due process of law, maka penetapan tersangka dapat dikualifikasi tidak sah dan cacat hukum karena merupakan pelanggaran asas prudent.
“Oleh karena dalam dalam menetapkan tersangka dilakukan tanpa didasarkan pada alat bukti yang cukup sebagaimana Pasal 1 angka 14 jo Pasal 17 jo Pasal 21 KUHAP jo Pasal 183 JUHAP jo Pasal 184 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah cacat hukum dan tidak sah penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka,” katanya.
Agus mengungkapkan, dua alat bukti yang harus dibuktikan oleh Polda Metro Jaya bukanlah hanya terkait formalitas saja, akan tetapi dua alat bukti yang memiliki relevansi dengan yang dituduhkan.
“Apabila hal tersebut tidak terpenuhi yaitu terkait syarat kuantitas, kualitas (subtansi materilnya) dan ada relevansinya antara alat bukti dengan peristiwa pidana yang disangkakan kepada tersangka, maka proses hukum penetapan tersangka tersebut tidak sah dan cacat hukum,” ungkapnya.
Agus menyebutkan, berdasarkan pasal 183 KUHAP yang berbunyi ‘hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya’.
“Minimal dua alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, haruslah tidak hanya terpenuhi syarat formil yaitu berupa terpenuhinya minimal dua alat bukti sebagaimana tercantum dalam KUHAP, akan tetapi juga terkait subtansinya atau materilnya yang sering dimaknai sebagai kualitas alat bukti sebagai contoh alat bukti keterangan saksi, dimana saksi yang mempunyai kualifikasi kualitas sebagai saksi adalah mereka yang melihat, mendengar atau mengetahui adanya suatu peristiwa pidana,” ujarnya.
Di samping itu, Agus mengatakan, subtansi keterangan saksi yang disampaikan terkait adanya suatu peristiwa pidana selain mempunyai kualitas, juga harus relevan terkait tindak pidana yang dipersangkakan.
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka atas perbuatan yang diduga dilakukan, harus terpenuhi syarat formil atau syarat kuantitas alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tetapi juga harus memenuhi subtansi (materil) alat bukti sesuai dengan kualitas masing-masing alat bukti dan masing-masing alat bukti yang memenuhi kualitas tersebut harus juga relevan dengan dengan mens rea maupun actus rea dari calon tersangka,” katanya.
Sebaliknya, Agus mengungkapkan, apabila ketiga syarat sebagaimana diuraikan tersebut, baik tidak terpenuhi syarat formil, materil dengan alat bukti masing-masing yang berkualitas, serta tidak ada relevansinya dengan mens rea dan actus reus dari seseorang yang diduga melakukan perbuatan pidana, maka penetapan tersangka seseorang tersebut tidak sah dan cacat hukum.
“Dengan demikian apabila penyidik tidak mampu membuktikan unsur-unsur delik yang disangkakan dan tidak dapat memenuhi ketiga syarat secara kumulatif sebagai alat bukti, maka seseorang tidak dapat dapat disangkakan telah melakukan tindak pidana karena unsur-unsur deliknya tidak terpenuhi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Agus pun menyampaikan bahwa Hakim Praperadilan di kasus Firli Bahuri tidak perlu ragu untuk memutuskan jika syarat formil dan materilnya tidak terpenuhi.
“Hakim Praperadilan yang putusannya menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah atau penyidikannya tidak sah, maka termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dan atas dasar putusan Hakim Praperadilan tersebut menghentikan proses penyidikan dalam perkara aquo dan oleh karenanya mempunyai kewajiban menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” ujarnya.