Masa Jabatnya Tak Sampai 5 Tahun, Sejumlah Kepala Daerah Gugat UU Pilkada ke MK
- VIVA/Muhammad AR
Jakarta - Para kepala daerah menggugat Undang-Undang Pilkada terkait masa berakhirnya jabatan kepala daerah sebelum 5 tahun akibat adanya Pilkada serentak di 2024. Wali Kota Bogor Bima Arya yang menjadi salah satu pemohon dalam pengujian Undang Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut ada kekosongan norma.
Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, Rabu 15 November 2023. Selain Bima Arya, pemohon lain dalam perkara ini antara lain Murad Ismail (Gubernur Maluku), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Dedie A. Rachim (Wakil Wali Kota Bogor), Marten A. Taha (Wali Kota Gorontalo), Hendri Septa (Wali Kota Padang), dan Khairul (Wali Kota Tarakan).
Para pemohon tersebut mempersoalkan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”
“Terkait materi gugatan kami yang pertama bahwa kami telah melakukan diskusi dan analisis mendalam, memastikan bahwa ini ada kekosongan norma. Artinya, yang diatur di UU Pilkada 2016 pasal 201 itu lebih kepada waktu pemilihan. Tidak menjelaskan masa jabatan. Kami Pilkada 2018, dan baru dilantik 2019 yang merupakan masa jabatan awal kami. Kami melihat kekosongan norma itu,” ungkap Bima Arya.
Dijelaskan bahwa norma pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon sebagai kepala daerah terpilih. Masa jabatan kepala daerah terpotong karena belum genap 5 tahun menjabat sejak dilantik 2019.
Misalnya, Gubernur Maluku Murad Ismail dilantik pada 24 April 2019, seharusnya berakhir 24 April 2024. Apabila menjabat hingga 2023 seperti yang diatur oleh norma pasal a quo, masa jabatan paranya akan terpotong selama kurang lebih 4 bulan.
Wagub Jatim Emil Dardak yang dilantik pada 13 Februari 2019, masa jabatannya terpotong selama kurang lebih 2 bulan. Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor, Bima Arya dan Dedie A Rachim dilantik pada 20 April 2019 masa jabatannya terpotong selama kurang lebih 4 bulan.
“Pak Marten Taha (Wali Kota Gorontalo) ini yang paling ujung masa berakhirnya jabatan, yaitu harusnya di bulan Juni 2024. Jabatannya terpotong 6 bulan. Jadi, perlu ada penjelasan atau tafsir konstitusional dari MK agar hak konstitusi kami tidak tercederai,” ujar Bima Arya yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Poin lain yang tidak kalah penting, kata Bima, adalah soal penuntasan program kerja hingga janji politik. “Kami harus memastikan kesinambungan perencanaan pembangunan di tahun politik. Jadi ada rencana pembangunan jangka panjang 2020-2045 yang harus kami evaluasi dan diputuskan. Jadi kalau dilakukan oleh Penjabat (PJ) tentu berbeda,” jelasnya.
Menurut pemohon, pengisian PJ adalah sesuatu yang sah dilakukan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi pemohon meminta agar ada kepastian hukum terkait masa jabatan kepala daerah yang belum habis 5 tahun terhitung sejak pelantikan, dan belum melewati bulan November 2024 sebagai jadwal Pilkada serentak.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pemohon dari Visi Law Office Donal Fariz, mengatakan bahwa permohonan yang dilakukan para pemohon ini tidak dalam rangka untuk menambah-nambah masa jabatan. “Karena bagi mereka cukup masa jabatan 5 tahun, Undang Undang sudah mengatur, proporsionalitasnya sudah. Apalagi beliau sudah dua periode. Beliau memohon kepada MK agar pasal itu ditafsirkan masa jabatan para pemohon full 5 tahun,” terangnya.
“Ini adalah problem norma yang bisa ditunjukan dalam bukti-bukti yang kami ajukan. Ada tafsir yang berbeda, SK SK para pemohon ini eksplisit menyebutkan berakhir pada 2024. Tapi belakangan kita melihat ada pernyataan di Kemendagri akan segera melakukan proses seleksi pengisian jabatan agar terpilih Penjabat (PJ) di Desember 2023. Ini ada problem yang berbeda. Problem ini diselesaikan dengan jalur konstitusional di MK sehingga memberikan tafsir yang sebaik-baiknya sebagaimana yang kita mohonkan,” beber Donal.
Sidang selanjutnya akan dilakukan dengan agenda menerima perbaikan para pemohon. Kuasa hukum dan para pemohon diberikan waktu untuk perbaikan selambat-lambatnya hingga Selasa, 28 November 2023. “Kalau bisa lebih cepat, bisa diagendakan lebih cepat juga agenda sidang menerima perbaikannya,” pungkas Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Pemerintah siapkan Kompensasi bagi Kepala Daerah yang jabatannya terpotong akibat Pemilu Serentak
Dalam situs resmi Mahkamah Konstitusi dituliskan bahwa undang-undang telah mengantisipasi secara jelas terhadap pihak yang terkena dampak pengurangan masa jabatan kepala daerah. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015).
“Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah pada 2018 lalu berupa uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode," kata Hakim MK Saldi Isra
Dia menambahkan, untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 ini, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa. "Serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode',” papar Saldi.