Kebudayaan Indonesia Dianggap Jaga Stabilitas dan Keamanan Nasional saat Dunia Berkonflik

Kekayaan Budaya Jateng
Sumber :
  • Istimewa

Jateng – Fenomena El Nino, perang Rusia-Ukraina, konflik Hamas-Israel dan suhu politik di Indonesia yang makin memanas jelang pemilu 2024, membuat pertahanan kebudayaan menjadi langkah penting untuk menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan nasional. 

Dalam menanggapi keadaan dunia yang semakin tidak menentu, rombongan Daulat Budaya Nusantara melakukan perjalanan ke Jepara Jawa Tengah dalam rangka Sembilan agenda Ruwatan Nusantara, usai September lalu dimulai dari Kediri Jawa Timur.

Sebagai Doktor Ilmu Pertahanan, Teguh Haryono yang memimpin rombongan Daulat Budaya Nusantara ini mengatakan pertahanan terbaik bagi bangsa Indonesia adalah kebudayaannya. 

Keragaman budaya Indonesia merupakan kekayaan bangsa yang harus dijaga

Photo :
  • vstory

Teguh paham betul kondisi dunia belakangan ini sedang tidak baik baik saja.

"Ruwatan ini akan dilakukan oleh Sujiwo Tejo dengan menggelar Wayangan dan Festival Pasar Rakyat sebagai bentuk Daulat Budaya Nusantara," kata Teguh dalam pernyataannya kepada awak media, Senin, 23 Oktober 2023.

"Terima kasih untuk Indika Energy yang punya komitmen untuk merawat pertahanan kebudayaan bersama kami," sambungnya.

Menurut Teguh, pertahanan terbaik bangsa Indonesia adalah kebudayaannya, dan Daulat Budaya Nusantara ini diselenggarakan sebagai bagian dari Ruwatan (memperbaiki kondisi) kebudayaan yang terkoyak seperti semangat gotong royong yang diwariskan leluhur. 

Rencananya, rombongan Daulat Budaya Nusantara akan mengadakan Ruwatan Nusantara di sembilan titik, termasuk Kediri Jawa Timur, Jepara Jawa Tengah, Purwakarta Jawa Barat, Anambas Kepulauan Riau, Alor Nusa Tenggara Timur, Pidie Aceh, Nusantara Kalimantan Timur, Ternate Maluku dan Jayapura Papua. 

"Prakarsa Daulat Budaya Nusantara yang saya gagas bersama Gus Benny, Mbah Tejo, Kyai Paox dan Gus Hamid, tidak akan terlaksana tanpa komitmen dari Indika Energy yang akan keliling di Sembilan titik di Indonesia” ucap Teguh.

Ritual penting yang dilakukan kali kedua ini berada di desa Tempur, sebuah desa di kecamatan Keling kabupaten Jepara, yang letaknya tepat berada di kaki Gunung Muria.

Salah satu lokasi ritual di Desa Tempur yakni Candi Angin yang menjadi candi yang kerap kali menjadi tujuan wisata para pelancong.

Ada beberapa cerita tentang Candi Angin, yang berkaitan dengan kerajaan Kalingga, menjadi peninggalan dari tokoh pewayangan dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai petilasan Wali Songo.

“Candi Angin ini peninggalan sangat penting di tanah Jawa. Salah satu candi tertua berdasarkan bukti arkeologi di jaman Ratu Shima yang memerintah kerajaan Kalingga sekitar abad ke 6 masehi. Candi Angin ini menjadi tujuan saya bersama sedulur-sedulur Daulat Budaya Nusantara ke Desa Tempur di Keling untuk mengawali ritual Ruwatan”, tutur Gus Benny Zakaria yang juga pengasuh Pondok Alam Adat Budaya Nusantara Mahapatih Narotama Mojokerto.

Setelah mengunjungi Candi Angin, rombongan kecil Daulat Budaya Nusantara melanjutkan perjalanan naik ojek selama 1 jam dari Desa Tempur ke pos pendakian Gunung Muria.

Trek yang dilalui yakni jalan setapak di lereng pegunungan Muria dari sisi barat laut, yang sebagian jalurnya telah dicor beton dan melewati banyak kebun warga yang ditanami kopi. 

Setelah itu, perjalanan berikutnya ke Puncak Songolikur, puncak tertinggi Gunung Muria ditempuh dengan jalan kaki.

Masjid peninggalan Sunan Muria, terletak di Gunung Muria.

Photo :
  • Galih Manunggal/ tvOne.

“Di bulan Suro atau Muharam, banyak warga masyarakat wilayah pegunungan Muria dan sekitarnya naik kesini. Banyak yang ziarah ke Puncak Songolikur tempat petilasan Tri Tunggal, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening dan Sang Hyang Tunggal. Beberapa hanya mendaki gunung Muria menikmati keindahan alam” jelas Gus Hamid, penggerak Dunia Santri Comunnity yang asli dari dari Jepara.

Hiking atau jalan pendakian menuju puncak Songolikur membutuhkan waktu sekitar 2 jam jalan kaki untuk seorang pendaki pemula.

Jalurnya terjal antara 30-45 derajat kemiringannya. Beberapa trek diberi alat bantu mendaki seperti tali webing dan tiang kayu yang diikat ke pohon perdu yang dikenal warga lokal dengan nama Wit Pranakan (Sebuah pohon yang tumbuh sampai di puncak Songolikur).