Soal Kasus Mirna, dr Djaja: Kalau Ambil Sampel Doang, Itu Bukan Autopsi
- YouTube dr. Richard Lee, MARS
Jakarta – Kasus kopi sianida yang menyeret nama Jessica Wongso kembali menjadi topik hangat di media sosial. Hal ini berawal dari film dokumenter yang menceritakan kisah pembunuhan tersebut dengan judul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso tayang di Netflix.
dr. Djaja Surya Atmadja seorang ahli forensik yang turut menangani jenazah Mirna Salihin 2 jam setelah meninggal dunia akibat keracunan mengungkap pengertian autopsi. Ia juga menjelaskan pendapatnya mengenai apakah yang dilakukan terhadap Mirna merupakan autopsi dalam kedokteran forensik.
dr. Djaja Surya Atmadja menjabarkan beberapa pengertian mengenai autopsi yang sering disalahartikan oleh orang-orang dam menjabarkan legalitas mengenai autopsi yang sesuai prosedur di dalam acara Catatan Demokrasi di tvOne.
“Saya mau terangkan lebih lanjut, mengklarifikasi beberapa pengertian yang suka orang itu pada salah. Yang pertama, itu begini, kalau ada kasus orang meninggal tidak wajar, itu wajib diautopsi, karena kenapa? Kita punya KUHAP pasal 133 yang mengatakan dalam hal penyidik menangani korban, baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena tindak pidana, dia akan meminta bantuan dokter ahli kehakiman, forensik, dokter atau ahli lainnya,” ujarnya tegas, dikutip Kamis, 12 Oktober 2023.
“Nah, itu adalah sesuatu yang memang dikatakan oleh KUHAP dan kemudian ada instruksi Kapolri juga, No 20 tahun 75 yang sampai sekarang belum dicabut, bahwa pada setiap kematian tidak wajar, itu harus diotopsi,” tambahnya.
Kemudian pembawa acara Catatan Demokrasi menanya perihal autopsi seperti apa, autopsi sebagian kah atau secara utuh.
“Nah yang kedua saya mau meluruskan mengenai autopsi itu untuk apa sih? Autopsi itu membuka semua organ, dari kepala, dada dan perut dan diperiksa organ dalamnya satu per satu. Organnya diperiksa, kalau perlu diambil racun, kita ambil sampel. Tapi yang utama adalah mengambil organnya. Jadi di dalam forensik itu ada autopsi seperti itu,” jelasnya.
Ia menekanan bahwa di dalam dunia kedokteran, autopsi harus dilakukan dengan memeriksa tiga rongga yang ada di dalam tubuh korban.
“Jadi misalnya ada orang bilang, ada parsial otopsi, emang ada. Misalnya kepala doang diperiksa, pada orang yang menerima trauma di kepala, dada dan perut tidak. Tapi itu tidak pernah diakui sebagai otopsi. Dan dokter di seluruh dunia, hingga saat ini, kalau autopsi lengkap, harus dibuka tiga rongga. Rongga kepala, rongga dada dan rongga perut dan semuanya harus diperiksa. Yang utama periksa organ. Nah, jadi kalau ngambil sampel doang, itu bukan autopsi,” tegasnya.