Tensi Darah Lukas Enembe 180 Usai Ngamuk di Sidang, Langsung Dibawa ke IGD RSPAD

Sidang kasus Lukas Enembe
Sumber :
  • VIVA/Zendy Pradana

Jakarta - Sidang kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe ditunda. Hal ini dikarenakan tensi darah Lukas meninggi usai ngamuk di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin, 4 September 2023.

Sebelum ditunda, Lukas Enembe sempat menjalani pemeriksaan tensi darah lebih dulu. Hasilnya, tensi darah Lukas mencapai 180 per 100.

"Jadi untuk gimana hasil pemeriksaan dokter sementara tensi darah?" kata Hakim Ketua Rianto Adam kepada Jaksa Penuntut Umum.

"Dari hasil pemeriksaan dokter terhadap terdakwa tensinya 180 per 100," kata Jaksa.

Jaksa menyatakan dokter yang memeriksa merekomendasikan agar Lukas Enembe dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. 

"Dokter merekomendasikan untuk yang bersangkutan dilakukan penanganan lanjut ke IGD RSPAD," kata Jaksa melanjutkan.

"Sekarang?" kata Hakim.

"Iya," singkat Jaksa.

Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe di persidangan

Photo :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Mendengar hal tersebut, Hakim lantas mengatakan sidang Lukas Enembe tak bisa dilanjutkan. Sebab Lukas Enembe harus segera dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto untuk penanganan lebih lanjut. 

Sementara itu, Hakim Rianto menyebut sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Lukas Enembe akan dilanjutkan pada Rabu, 6 September 2023 mendatang.

"Jadi untuk pemeriksaan terdakwa hari ini belum bisa dilanjutkan, mengingat tadi hasil pemeriksaan terakhir tensi darah terdakwa itu cukup tinggi dari ukuran normal. Dan ada rekomendasi dari dokter hari ini juga dibawa ke UGD RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto untuk diperiksa lebih lanjut karena mengingat terdakwa pernah mengalami stroke," kata Hakim.

"Jadi untuk itu persidangan hari ini kami tidak bisa lanjutkan nanti insyaallah akan dilanjutkan kembali pada hari Rabu, tanggal 6 September untuk jadwal pemeriksaan terdakwa. Hari ini ke UGD dulu untuk dilanjutkan pemeriksaan oleh tim dokter," sambung Hakim Rianto.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara resmi akhirnya mendakwa Gubernur Nonaktif Provinsi Papua, Lukas Enembe dengan nilai Rp 46,8 miliar terkait dengan suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Jaksa menilai bahwa perilaku Lukas sudah menjadi hal yang bertentangan sebagai penyelenggara negara.

"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji," ujar jaksa penuntut umum (JPU) KPK di ruang sidang di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Senin 19 Juni 2023.

Di perkara suap, Lukas Enembe telah menerima uang sebanyak Rp 45,8 Miliar. Dari puluah miliar itu, dirincikan sebanyak Rp10,4 miliar berasal dari PT Melonesia Mulia, Piton Enumbi. Kemudian, sebesar Rp35,4 miliar diterima dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Rijatono Lakka.

Uang tersebut diberikan kepada Lukas Enembe guna memenangkan perusahaan milik Piton dan Rijatono dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.

Lukas Enembe didakwa sebanyak Rp 1 Miliar dalam kasus gratifikasinya. Uang tersebut didapatkan oleh Lukas dari Direktur PT Indo Papua Budy Sultan melalui Imelda Sun yang dikirim melalui nomer rekening Lukas.

Lukas Enembe terkait dengan perkara suapnya didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Kemudian, untuk perkara gratifikasinya, Lukas Enembe didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.