Hingga Februari 2022, Polri Ungkap 15.787 Kasus Diselesaikan dengan Restorative Justice
- dok Polri
Jakarta - Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM), Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, mengatakan transformasi penegakan hukum di era Polri Presisi, dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice.
Hal itu diungkap saat jadi narasumber bedah buku Keadilan Restoratif: Strategi Transformasi menuju Polri Presisi. Kata dia, ada tiga poin transformasi operasional dan penegakan hukum yang terdiri dari transformasi organisasi, polsek jadi basis resolusi, kemudian modifikasi KPI kinerja polisi. Dirinya pun merinci maksud dari poin-poin itu.
“Transformasi organisasi merupakan 1 dari 4 program transformasi menuju Polri yang Presisi, dengan tujuan untuk menjadi lebih baik. Aliran positivisme ke aliran progresif untuk lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dalam transformasi, Polsek akan menjadi basis resolusi dan merealisasikan Bhabinkamtibmas sebagai pusat informasi dan problem solver. Key Performance Indikator (KPI) kinerja Polri tidak hanya fokus pidana, tetapi juga restorative justice,” kata dia kepada wartawan, Senin 17 Juli 2023.
Eks Kepala Divisi Hubungan Masyarskat Polri ini mengatakan, restorative justice berorientasi pada pemulihan menyeluruh. Hadirnya penyelesaian masalah hukum dengan restorative justice guna menjawab ketidakpuasan dan rasa frustasi atas hukum pidana formal.
“Bentuk paling sederhananya, reparasi. Menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung dari pihak terkait. Ini sejalan dengan Paradigma Hukum Modern yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, keadilan rehabilitatif,” ujarnya.
Dia mengatakan, ada empat indikator penyelesaian pelanggaran hukum dengan pendekatan restorarive justice. Pertama pelaku, korban, lalu masyarakat dan aparat hukum.
“Model penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu proses di luar peradilan formal yang dijalankan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku, dan masyarakat itu sendiri,” kata dia.
Dalam penyelesaian dengan restorative justice, pelaku bertanggung jawab memulihkan kerugian yang dialami korban akibat tindakannya. Dia mengatakan, korban dalam hal restorative justice menjalani mediasi dan menentukan sanksi untuk pelaku.
“Masyarakat sebagai mediator, juga berperan menyediakan kesempatan bagi pelaku. Sementara aparat penegak hukum memfasilitasi mediasi,” katanya.
Mantan Kapolda Kalimantan Tengah (Kalteng) ini menyebut penghentian kasus dengan restorative justice di Polri, dalam kurun waktu 1 Januari 2021 hingga 14 Februari 2022, mencapai 15.787 kasus. Namun, dia mengaku masih ada kendala dalam penerapan restorative justice. Oleh sebab itu, restorative justice menurutnya masih harus dirumuskan secara komprehensif.
“Kendala dalam implementasi, di sisi pendekatan sektoral belum berorientasi pada restorasi korban, di mana penyelesaian perkara hukum masih berorientasi pada konsep pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Harus dirumuskan dulu substansi, struktur, dan kultur hukum dalam suatu program kerja sistem peradilan pidana, yang melibatkan semua unsur criminal justice system," katanya.
Menurut Dedi, kendala di masyarakat, paradigma publik dinilai masih menganut konsep balas dendam. Dimana, publik beranggapan pelaku pidana harus dihukum seberat-beratnya melalui pemenjaraan. Dia merasa perlu ada perubahan paradigma terkait penegakan hukum di masyarakat.
“Padahal pada kenyataannya, sebagian narapidana yang usai menjalani hukuman tak mendapatkan pelajaran seperti yang diinginkan dalam konsep pemenjaraan. Penerapan pendekatan keadilan restoratif membutuhkan prasyarat berupa perubahan
paradigma masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan akan mengubah paradigma penegak hukum,” ucap Dedi.
Lebih lanjut dia mengatakan, restorative justice bisa membantu menyelesaikan masalah, salah satunya mengurangi jumlah kasus yang menumpuk. Dia menekankan soal restorative justice telah diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018, dan disempurnakan dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021.
“Pendekatan keadilan restoratif sangat tepat diimplementasikan di Indonesia, karena nilai lebihnya berasal dari filosofi yang mengeratkan hubungan antara manusia dengan manusia lain, hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan alam,” ujar Dedi.