Pakar Hukum Sebut Penagihan Janji 'Gantung di Monas' ke Anas Perlu Dikaji secara Objektif
- ANTARA/Fath Putra Mulya
Jakarta – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad mengatakan, penagihan janji soal 'gantung di Monas' kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum perlu dikaji secara objektif dan kredibel.
Hal itu dikemukakan Suparji saat bedah buku "Halaman Pertama Anas Urbaningrum" karya Tofik Pram, dengan topik utama diskusi "Mengapa Anas Tak Jadi Digantung di Monas," hari ini.
"Membangun keyakinan bahwa Anas tidak bersalah tidak boleh secara subjektif, harus terstruktur dan teruji objektif dengan eksaminasi dan standar objektif norma teori dan filsafat hukum, sehingga pendapat kita pendapat objektif," kata Suparji dalam keterangannya, Senin, 26 Juni 2023.
Diketahui, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bebas murni pada Juli mendatang. Saat ini, meski telah keluar dari lapas Sukamiskin, namun Anas masih harus menjalani wajib lapor.
Bebas dari tahanan, publik kembali menagih pernyataan "kalau ada satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas." Hal itu disampaikan Anas pada Jumat 9 Maret 2012.
Menurut Suparji, Anas masih memerlukan keadilan secara hukum dan sosial. Pasalnya dengan fakta-fakta hukum yang ada, sangat mungkin Anas batal digantung di Monas.
"Secara hukum Anas sudah menjalani hukuman delapan tahun. Meski masih ada kemungkinan melakukan upaya hukum peninjauan kembali 2. Bukan tidak mungkin PK 2. Kedua memperjuangkan Anas secara sosiologis karena sudah terstigma. Buku mas Tofik Pram ini salah satu upaya memperjuangkan itu," ujar Suparji.
Dari fakta persidangan, menurut Suparji, Anas diputus malah tidak ada bukti-bukti melakukan korupsi Hambalang. "Karena syarat digantung di Monas tidak dipenuhi, Anas divonis tidak korupsi, tidak terima korupsi Hambalang sampai tingkat kasasi oleh belasan orang hakim mengadili sejak tingkat pertama," ujarnya.
Senada dengan Suparji, Tofik Pram mengatakan, kasus Anas sarat kejanggalan sejak awal. Mulai dari sprindik yang bocor hingga dugaan intervensi kekuasaan kala itu.
Ia menambahkan, Anas juga dipersepsikan oleh kekuatan tertentu kala itu agar ia harus dinyatakan bersalah. "Inilah dampak jangka panjang dari konstruksi opini tentang sosok Anas di masa lalu. Betapa narasi dan wacana yang dibangun kala itu benar-benar membungkus Anas dalam stigma negatif, sehingga dia sudah 'divonis' bahkan jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka," ujarnya.
Tofik menambahkan, "Buku ini coba menghadirkan narasi alternatif tentang Anas, menghadirkan sisi lain perjalanan kasusnya, untuk mengajak pembaca agar mau mencoba adil sejak dalam pikiran."