Tuntaskan Polemik Kepemilikan 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut, Akademisi: Butuh Bukti Autentik
- VIVA/Dani Randi
Jakarta – Sebanyak empat pulau yakni Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang berada di Aceh menjadi polemik di tengah masyarakat. Sebab, dalam Keputusan Mendagri Nomor 050-145 tahun 2022 keempat pulau itu diputuskan masuk ke wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Munculnya polemik tersebut membuat Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta bekerja sama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Ar-Raniry menggelar seminar nasional. Seminar digelar dengan tujuan agar polemik tersebut selesai dan keempat pulau itu kembali masuk sebagai bagian dari Aceh.
Ketua Umum IMPAS Aceh-Jakarta, Nazarullah mengatakan pada tahun 2022 tepatnya 20-22 November, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi menyampaikan hasil bahwa ada 260 pulau berada di wilayah Aceh.
Namun dari jumlah tersebut tidak mencatat Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, masuk dalam wilayah.
Sementara itu, rapat serupa dan tim yang sama malah telah dilakukan di Kota Medan, Sumut, pada 14-16 Mei 2008. Diverifikasi dan dibakukan dalam rapat tersebut 213 pulau ada dalam wilayah Sumut.
“Termasuk empat pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang,” ucap Nazarullah, Jumat, 23 Juni 2023.
Bahkan, Kemendagri mendaftar empat pulau tersebut sebagai milik Sumut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 2012. Sedangkan Pemerintah Aceh telah mendirikan sejumlah bangunan di empat pulau itu, mulai dari musala, rumah singgah, dan prasasti.
Meski demikian, sejak 2012 sampai hari ini, empat pulau tersebut masih diklaim sebagai milik Sumut. Kata Nazarullah, harusnya pemerintah Aceh lebih tegas jika ingin mengakui empat pulau tersebut berada dalam wilayahnya.
“Kalau memang itu punya Aceh, Pemerintah Aceh harus tegaskan dan ayo lengkapi data. Kita siap sama-sama berjuang, kita bergandengan tangan, kita perjuangkan itu milik Aceh,” ungkap Nazarullah.
Secara penamaan memang empat pulau yang ada di wilayah Aceh dan kini masuk sebagai bagian Sumut tersebut nyaris sama. Akan tetapi, secara koordinat disampaikan Nazarullah, ada perbedaan.
Di sisi lain, Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki sempat menyurati Kemendagri untuk merevisi keputusan tersebut pada Februari 2023. Isinya meminta Kemendagri untuk mengeluarkan empat pulau itu dari Sumut dan masukan ke Aceh.
Terpisah, Asisten I Pemkab Aceh Singkil, Junaidi menyebut polemik mengenai sengketa empat pulau itu sangat berdampak terhadap kehidupan nelayan setempat. Karena warga tidak bisa melakukan penangkapan ikan.
“Empat pulau ini harus dapat segera diselesaikan. Karena ini sangat berdampak terhadap para nelayan kita,” tuturnya.
Junaidi menjelaskan, dalam aspek hukum polemik perbatasan sebelumnya telah diselesaikan oleh Pemerintah Aceh dan Sumut pada 1992. Kedua provinsi menyatakan kesepakatan bersama batas termasuk masalah empat pulau yang kini menjadi sengketa.
Dalam peta perbatasan antara kedua provinsi tahun 1992, terlihat bahwa Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk dalam wilayah Aceh yang kala itu masih bernama Daerah Istimewa Aceh (DIA).
Berbagai fasilitas dan infrastruktur pun telah dibangun di pulau-pulau tersebut antara lain, tugu selamat datang, pelabuhan, hingga prasasti yang menandakan kawasan itu masuk dalam wilayah Aceh.
Terpisah, akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry, Delfi mengatakan social legal dibutuhkan untuk menyelesaikan polemik kepemilikan empat pulau tersebut. Aspirasi dari segala sisi, mulai dari bidang politik, hukum dan budaya juga dibutuhkan.
“Sehingga dapat menyerap semua aspirasi. Baik politik, hukum, dan budaya serta kondisi lapangan di sana,” kata Delfi.
Polemik yang terjadi antara kedua provinsi bertetangga tersebut dikatakan Delfi, tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus diselesaikan sampai tuntas. Sebab, dampak lain akan berpengaruh terhadap anggaran masing-masing daerah.
Delfi menyebut, butuh setidaknya bukti autentik yang bisa mendukung Pemerintah Aceh untuk mengklaim kembali empat pulau tersebut.
“Paling tidak pihak akademisi riset awal tidak hanya budaya, tetapi harus disertai bukti autentik yang bisa mendukung kekuatan fakta dan data Pemerintah Aceh,” pungkasnya.